Korek Api

Monday, April 24, 2006

Sejepret Mimpi

Semua orang pasti pernah mimpi. Apalagi gue yang doyan tidur ini: nggak malem, nggak siang. Diantara semua waktu tidur, gue selalu suka mimpi di siang-siang yang terang. Ternyata gue nggak sendiri, orang spanyol konon paling demen tidur siang-siang. Mereka bahkan punya satu kata untuk kebiasaan itu: siesta.

Tapi di sini, tidur-tidur siang identik dengan kemalasan. Sampe-sampe ada satu frasa 'mimpi di siang bolong' yang identik dengan harapan yang terlalu muluk. Mungkin karena mimpi yang diproduksi otak waktu tidur siang punya derajat relaksasi yang lebih tinggi daripada tidur malam. Yang boleh jadi lantaran tidur siang dilakukan di tengah hidup yang sedang hiruk pikuk; di antara tumpukan kerja dan teriknya matahari. Ah, pokoknya gue selalu bisa menikmati tidur siang-siang.

Temen-temen deket gue selalu bilang gue lagi 'mimpi di siang bolong' kalo gue ngobrolin tentang Santi; cewek (jurusan-red) farmasi yang selalu gue bilang 'jodoh' gue. Ibarat gelas kristal, Santi itu sempurna. Tinggal dituangi anggur merah.. ah.. (catatan: seumur-umur gue belum pernah minum anggur merah, gue cuma pernah dengar dari sebait lagu dangdut 90-an dan di film-film romantis bikinan Hollywood). Apalagi siang ini, gak cuma temen-temen gue, gue sendiri ngerasa gue sedang 'mimpi'.

"Eeemmm..."

"Lo mo ngomong apa sih sampe kita harus ke sini? Di sini kan bau. Deket kamar kecil cowo. Duuuh... cepetan dong, Ga!" Santi menutup hidung dengan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya yang lentik.

"Anu, San.. anuku.. eemmm.. pingin.."

Yup, di momen-momen yang setiap siang sejak setaun ini gue impi-impikan untuk terjadi, gue cuma bisa bergumam dan bicara tentang anu. Hebat!

Di kejauhan, temen-temen Santi sepertinya bisa menangkap semua kegundah-gulanaan kawannya yang tiba-tiba gue culik, "San, cepetan! Ntar telat lagi.."

Mata Santi yang besar dan binar itu kembali menatap ke arahku yang sedang gagu. Santi sudah bosan menunggu dan menjadi bau.

"Eeemmm.. gue cuma pingin bilang... gue suka..."

Pernah denger nggak tentang saat-saat menjelang ajal? Katanya, sang calon mendiang akan dipertontonkan seluruh rekaman hidupnya dengan jelas dan gamblang kayak film. Dan, kayaknya, gue mulai bisa ngerasain juga: dan ini bener-bener mengganggu, bikin konsentrasi bubar jalan hancur minah. Suer!

"..kaos lo." Shit! Tuh khan!

Santi menunduk menatap kaosnya. Ada tulisan di dadanya yang sempurna 'Don't Ask Me Shit!'. Lalu dengan suara yang seperti meledek (coba aja lo denger orang ngomong sambil menjepit hidung pake dua jari) "Cuma itu?" Lalu Santi melengos pergi. Angin berdesir lembut ikut mengejek sambil membawa bau-bauan khas wc cowo.

Kalo tau gini, gue mendingan mimpi.

---

Malam udah dateng. Di sepanjang sisa hari, segalanya jadi berantakan: mood kacau balau campur rasa bersalah dan perut yang meronta minta diisi makanan.. tapi peduli setan!

"Ga, lo yakin gak mo nitip nasgorbing? Gue mo ke simpang."

"Nggak."

"Yo weeiiiis," dengan tangan bergerak seperti wiper kaca mobil, ke kanan lalu ke kiri. Kepala Roni lenyap di balik pintu, gue nglanjutin agenda: menatap lekat-lekat foto Santi dengan penuh rindu juga malu.

Foto itu diambil tujuh bulan yang lalu di Jonas--tempat langganan foto bareng ABG se-Bandung raya. Gue ma Santi sempat gabung di divisi yang sama di sebuah acara besutan KM. Dan, seperti juga tradisi yang gue gak tau siapa dan kapan dimulai, setelah bubaran panitia, kami foto bareng. Semua terlihat hepi dengan senyum super sumringah, kecuali gue yang keliatan gugup karena tiba-tiba tangan Santi melingkar di bahu gue sambil jarinya membentuk 'V'. Dan seper-seratus detik kemudian: JEPRET!

Momen itu ternyata masih abadi sampe sekarang.

Ah...! Santi.. kutunggu jomblomu!


Buat teman yang jauh-jauh ke Papua, bertemu cinta lalu berpisah lagi:
memang banyak cabe di dunia, tapi nggak ada yang sepedas 'cabe cinta' ;)

Tetap Semangat!

Friday, April 21, 2006

Reuni(fikasi)

"Dimana, Don?"

Doni cuma bisa bengong. "Cilak.."

"Lagi?!" Aduy memotong. Walaupun acara ini sama sekali nggak meminta mereka merogoh kantong, tapi buat Aduy, Roni, dan Coky ini perkara serius dan gak bisa main-main.

"Gue kan demen seafood," Doni bela diri.

Sekarang lagi musimnya cuti. Bulan-bulan belakangan ini, tiap minggu ada aja temen seangkatan mereka yang balik dari lapangan. Kebanyakan sih cuti. Tapi ada juga yang lagi cari tumpangan untuk ngelompat ke perusahaan lain yang tentunya lebih bonafide. Minggu ini giliran Deki yang ditodong buat bikin kenyang temen-temennya yang sedang 'di-pantati' sang nasib ini: belum juga dapet kesempatan disidang.

"Di mana lagi ya?"

Kalo mereka berlima ada di Pekalongan atau Tulungagung, wajar-wajar aja mereka kehabisan lokasi tongkrongan. Tapi ini Bandung. Kota dengan hotspot terbanyak berdasarkan sebuah situs yang mendorong orang untuk jalan-jalan, makan-makan, dan tentunya menghabiskan uang.

"... kayaknya semua tempat udah deh.. mulai dari Cikapundung mpe Lembang udah kena semua," Roni menyerah.

Harusnya perkara isi mengisi perut ini gak bikin bingung lima kepala. Khan, paling-paling besok pagi semua itu berakhir di tempat pembuangan; depan dan belakang. Tapi, menurut Doni ini soal pemerataan, soal kesempatan.. kapan lagi kalo nggak sama mereka-mereka yang baru terima gaji pertama dan dengan penuh kebanggaan pingin nunjukin 'kesuksesan' yang dia raih ke temen-temennya dengan cara ntraktir--kesempatan macem ini gak mungkin bisa ada kalo harus rogoh kocek mahasiswa tingkat akhir yang dana donasi dari orang tuanya aja dah makin seret. Seseret air ledeng rumah kontrakan Aduy.
(Catatan: tapi ini sama sekali bukan masalah buat Aduy. Boro-boro mandi, cuci muka aja kayaknya Aduy dah lupa caranya.)

Tiba-tiba, Aduy yang lebih akrab sama cat minyak dan kanvas ketimbang gayung dan sabun itu dapet ide, "Gue tau!"

---

"Dasar surrealis! Ide gebleg nan sederhana lo lumayan juga, Duy," kata Roni sambil ngisep rokok sebatang rame-rame.

"Iya nih.. view kayak gini kudunya bisa lo pake buat cafe pa tempat dinner romantis," Coky nggigit MacBurger extra-gedhe yang ke tiga.

"Masa sih kita bisa lupain tempat seasik ini."

"Ya.. asal tuh benda-benda menggantung di sono itu diturunin dulu... bikin gue aras-arasen makan.."

"Aras-arasen koq habis tiga. Ya, jangan liat ke sono Cok. Tuh.. liat aja kelap-kelip kota Bandung."

"Gue paling demen tuh siluet pegunungannya. Jadi inget Brokeback Mountain, waktu Heath Lead..."

Serentak, Doni, Aduy, Roni, dan Deki menatap Coky yang mulutnya belepotan mustard, saos, plus saliva... "Brokeback?!"

Coky nyadar bahwa kejantanannya sekali lagi akan dipertanyakan, buru-buru dia ralat.. "ee.. pemandangannya.." Lalu tangannya nyari-nyari gelas coke dingin ukuran jumbo trus buru-buru disruput.

Buat mereka berlima, loteng atas tempat jemuran di kos-kosan Roni dan Doni bakal jadi tempat favorit mereka semua. View ala resto mahal di Dago Atas, dengan angin yang sepoi-sepoi. Apalagi bulan lagi bulet-buletnya di atas sana. Pemandangan plus plus: kolor yang gak cuma ijo dan cawat yang bentuknya berusaha untuk segitiga sama sekali gak membuat mereka benci balik lagi kalo empat bulan nanti Deki cuti lagi atau kalau mereka semua udah pisah jauh-jauh dan dikasih kesempatan untuk nongkrong bareng lagi di kota ini.

*Gubrak!! Klontang #$%^*(#$&! Buk!!*

Meongg!!! @#$%^&&#@!#%^&

Aduy dengan sukses nimpuk kucing garong--yang ikut-ikutan nongkrong di atap dan dah mulai bikin suara-suara aneh yang mulai ngeganggu banget--pake sendal jepit.

"Woy.. sendal Billabong asli gua!!!" Jerit Deki.

Friday, April 07, 2006

Siti Nurbaya ke Jennifer Aniston, via Fisika Kuantum

Gue serasa jadi Siti Nurbaya. Semacam kawin paksa. Cuma bedanya gue cowok dan Datuk Maringgih-nya bukan lagi berwujud orang, tapi sebuah perusahaan besar--dengan uang serenteng dan gengsi yang tinggi--menawarkan sebuah kesempatan (posibility). Satu kata yang seharian kemarin berkali-kali diulang Willy.

Siang itu, Willy baru selesai kuliah bertajuk "Seni dan Peradaban", sebuah mata kuliah berona filsafat. Dan bukan sembarangan kuliah, yang kemarin itu lebih tepat disebut nonton bareng. Film dokumenter bertema "fisika kuantum," katanya. Judulnya kalo nggak salah "What The *bleep* Do We Know?". Kuliah berlanjut dengan pembahasan-pembedahan yang ujung-ujungnya membawa pencerahan; bicara tentang semesta, tentang Tuhan, diri, sampai tentang yang tadi itu: kesempatan.

Rangkum punya rangkum, semesta ini ibarat padang-kesempatan yang penuh sesak dengan pilihan-pilihan. Yang disusun dari ya dan tidak, ambil atau tinggal. Sederhana memang. Tapi, tunggu sampai keinginan/hasrat/nafsu ikut bermain; semuanya sontak jadi rumit.

Itu dia Siti Nurbaya dalam diri gue. Siti Nurbaya yang seolah-olah dipaksa memilih. Siti yang terseret arus, Nurbaya yang seperti tak berdaya. Pilihannya antara dua: cita-cita atau apa yang nyata-nyata sudah di depan mata? Yang satu ada jalan yang gerbangnya sudah dibuka atau benih yang gue belum tahu apakah ia beringin atau dahlia atau tak ada.

Willy benar, manusia terbungkus daging, tulang, darah dalam ruang waktu yan kaku. Manusia tidak bisa berada di dua kesempatan berbeda. Hidup soal memilih: sang jalan atau sang benih? Semua punya pintu-pintu berlapis di baliknya: serangkaian konsekuensi. "Nggak ada penyesalan dalam hidup ini, yang ada hanya pelajaran," begitu kata si cantik Jennifer Aniston.

Ah, Tuhan tak sedang bermain dadu.

berbagi bingung dengan fotomodel yang sempat nongol di LACAK!
10.21 pagi