Korek Api

Sunday, May 28, 2006

Pedas: Sebuah Pelajaran Bagus (PSPB)

-ini tulisan serius!-

Lidah gue masih terasa terbakar waktu gue masuk dan duduk di angkot. Pedes tapi nikmat atau.. pedes itu nikmat! Mungkin pengalaman gue yang paling intens sekaligus intim dengan rasa yang satu ini udah dimulai jauh sebelum gue lahir yang bikin gue gak bisa ngelepas sambel dari menu makan harian. Ah, sudahlah... yang jelas gue kepedesan dan pengin pulang.

Seperti kebiasaan gue sehabis makan, apalagi yang pedes-pedes, titik-titik keringat mulai muncul melembabkan tubuh: di akar rambut di dahi, pada lipatan-lipatan kulit gue yang menggelambir, dsb. Ditunjang dengan latar yang mendung, membuat siang itu gerah yang sempurna. Lalu gue menghenyakkan badan di tempat duduk depan pintu. Supaya dapet angin. Ternyata gak cuma gue yang kepanasan.. atau kepedesan ya.. di angkot yang ngetem itu.

Adalah seorang lelaki dengan raut yang menua sudah duduk lebih dulu di dalam angkot. Kumis dan jenggotnya panjang tapi jarang-jarang dan mulai beruban. Pakaiannya rapi. Pake jaket item, di dalemnya kemeja yang mulai lusuh dan pudar warnanya. Dipadu padan dengan celana panjang dari kain yang juga hitam plus sepatu cokelat. Di sebelahnya duduk seorang anak muda, mungkin anaknya, mungkin keponakannya, atau mungkin mereka hanya kebetulan kenal tanpa perlu ada silsilah. Anak muda itu termasuk kelompok anak gaul. Potongan rambutnya, baju, aksesoris, sepatu.. semuanya menunjukkan bahwa dia nggak sudi ditinggal jaman.

Lidah gue masih pedes, perut kenyang. Sebenernya nggak ada yang menarik perhatian gue dari mereka, sampai si lelaki tua ber-monolog, diawali dengan pertanyaan, “Tau nggak kenapa Jogja kena gempa?”

Hangat! Di koran di televisi di mana-mana orang bicara soal Jogja yang Sabtu (27/5) kemaren digoyang gempa. Lelaki tua itu juga ogah ketinggalan. Termasuk dalam soal memberi hipotesisnya mengenai sebab musabab bumi yang bergidik 57 detik itu.

Gue gak ngelihat ekspresi si anak muda. Tapi dibayangan gue dia menekuk kulit dahinya, mencoba menangkap apa maksud lelaki tua itu. Anak muda itu nggak menjawab, dia nggak juga bilang ‘nggak tau tuh, pak’. Sama seperti penumpang plus sopir angkot: semua diam dan menanti. Tanpa perlu lama, lelaki tua itu menjawab teka-teki.

“Jogja khan kota pelajar ya...” — lalu? Lelaki ini berhasil membuat kami penasaran.

“Di sana semua ilmu dipelajari.. kecuali satu!” — apaan tuh, Pak?

“Ilmu agama ... ” — lhoh? Apa hubungannya ya?

Gue diem, seperti penghuni angkot yang lain. Gue mencoba log in lagi ke otak gue yang sedari tadi—eh, udah berbulan-bulan ding—dalam sleep mode. Apa ya kira-kira hubungannya antara sebuah kota yang—menurut bapak itu—nggak mengajari agama dengan sebuah gempa?

Hmmm... kenapa gue gak pernah diajari soal yang begini ini waktu pelajaran Geologi Dinamik, jaman kuliah dulu. Apa mungkin gue yang lagi setengah sadar (soalnya kuliahnya dimulai jam 7 pagi) waktu pak dosen ngajar sampe gue gak tau soal yang begini penting?

Anak muda itu cuma duduk dan tertunduk. Mungkin dia juga sedang berpikir. Dia.. juga gue.. akhirnya nyerah! Lelaki tua itu tertawa digdaya. Ia menang. Ia memecundangi akal gue yang meskipun udah berkarat ini tapi sempat numpang lewat kuliah di samping Kebon Binatang Bandung (bangga nih ye..).

Lalu lelaki itu menambah “... Azab.” — * ting! Dan, lalu pencerahan!

Ah, rupanya menurut dia gempa kemarin itu datang karena Tuhan yang murka. Bukan karena tumbukan dua lempeng bumi yang sedang tersentak. Mungkinkah? Nggak ada yang nggak mungkin (sampai Tuhan sendiri datang dan ngomong terus terang). Tapi pertanyaannya, haruskah dia mengatakan hal seperti itu?

Bagaimana bila suatu ketika (amit-amit!) Bandung diguncang gempa yang dahsyat juga? Ini bukan nggak mungkin terjadi. Karena Kota bandung duduk di dekat sebuah patahan besar yang mungkin bisa bergerak lalu seluruh kota akan sontak terserak. Sementara di Bandung, sekolah-sekolah yang mengajar ilmu agama bertebaran. Apakah dia akan mengatakan hal yang sama? Atau mungkin akan ada yang menemukan alasan lain yang mirip-mirip, misalnya: karena pergaulan bebas yang marak atau anak-anak yang lebih hapal syair lagu Peter Pan daripada isi kitab suci?

Ah, saya yakin, lelaki tua itu akan punya bahasa yang berbeda jika ia sendiri yang mengalaminya (bukannya ndoain nih, Pak). Tapi, kemudian muncul rasa kasihan dalam diri gue kepada si bapak... Bagaimana ia bisa menyimpulkan hal yang sepedes—bahkan cenderung kejam—itu? Bagaimana ia bisa berbicara sedemikian tahayul?

Bukankah jika Tuhan melaknat saudara-saudara kita di Jogja, Ia juga sedang melaknat kita yang duduk di depan layar ini, juga mereka yang menumpang di dalam angkot, karena kita sebangsa (bahkan sepulau)? Apakah bencana tak pernah terjadi di tanah-tanah suci? Apakah musibah tak tiba di rumah-rumah ibadah? Apakah ia hanya singgah di kedai-kedai pelacur dan di ruang-ruang korupsi?

Lalu.. jika bencana itu mengetuk pintu rumah kita, kita menyebutnya cobaan karena Tuhan sayang.. namun jika ia mengempas rumah orang lain—apalagi yang tidak sejalan dengan kita—kita menyebutnya azab karena Tuhan murka.. Seolah-olah Tuhan milik kita seorang dan memusuhi yang lain?

Lelaki itu telah menebar ‘kepedasan’—tak hanya di lidah—tapi dalam benak orang-orang. Haruskah ia dihentikan, dimarahi, dijerat dengan undang-undang, atau dilarang? Tak perlu, ia hanya perlu disayang. Dan, seperti sambel yang pedes, ia (baca: pemikiran macem itu) harus keluar lewat sebuah perjuangan panjang yang menyakitkan dan membuat tubuh capek lewat mencret... yang lalu menyisakan kata-kata penuh tekad, “Nggak lagi-lagi deh makan yang pedes-pedes. Besok gue makan sayuran ma buah-buahan ajah... Suer! Please.. jangan ‘keluar’ lagi, donk.”


Dari Angkot dengan Perut Mules!

Sunday, May 21, 2006

Inner Beauty

Bulan udah masuk juli. Matahari terang, langit biru, angin sejuk. Semuanya sempurna buat bunga bogenvil di pekarangan depan. Bunganya penuh bertumpuk warna merah fanta. Ah, mungkin ini rasanya musim semi di negeri eropa nun di ujung dunia sana. Tapi sayangnya.. kebun hati gue masih sama seperti seminggu, sebulan, dua tahun bahkan dua belas tahun yang lalu: musim dingin tiada henti. Dua tahun lagi gue dapet predikat Jomblo Perak! Padahal udah banting tulang dan harga diri tapi cuma dapet cinta yang berkeping-keping. Nasib!

Apa iya cinta ada hubungannya dengan musim? Kayak rusa, karibou, dan angsa yang seringkali bercinta di musim-musim ketika rumput gemuk menghijau dan air melimpah di dataran kering afrika? -- Nah ini indikasi! Kayaknya, kondisi gue--yang minus cinta ini--sudah akut tujuh keliling.. gue lebih banyak nongkrongin film dokumenter tentang rusa dan singa kawin (masing-masing tentunya) ketimbang kawin beneran. Padahal di usia segini harusnya gue udah masuk siaga satu dengan sirene yang meraung-raung. Atau kalo bahasa gunung Merapi: status ‘Awas’!

Koq? Gimana nggak?! Pak RT sebelah rumah gue yang duda itu sekarang jadi wangi, rapi.. pokoknya necis deh. Dia juga sering minta beberapa potong bunga bogenvil gue. Pasalnya--dia curhat ke gue suatu hari--dia baru aja memulai menjalin cinta ama janda dari RW sebelah yang suaminya raib dalam sebuah kecelakaan pesawat. Pokoknya hot dah mereka itu! Ditemani iringan orgen pak RT, mak Eti yang masih semok itu sering nyanyi lagu-lagunya Teti Kadi dan Grace Simon. Apalagi kalo minggu, bisa seharian. Mana dinding rumah gue ma pak RT setipis kabut sutera ungu.

Temen-temen gue ‘pa lagi. Si Doni udah berhasil ngegaet gebetannya, si Mila. Si Coky malah udah mulai nawarin gue megang foto-foto prewedding dia ma si Ratih anak jurusan perminyakan. Belum lagi si Nelwan, Gatot, Bambang sampe Djoko... semua aja gitu bergilir nraktir gue ngerayain lepasnya status yang menistakan itu dari kehidupan mereka. Ih, apa salahnya sih being single? Begitu suatu hari gue membela diri.

Sebenernya yang gue bela itu adalah muka dan martabat gue. -- Kalimat tadi lebih tepat disebut pembenaran--atas muka gue yang mungkin lebih mirip martabak--dari pada kebenaran. Tentu saja salah, salah besar malah being single di jaman ketika televisi membombardir kita dengan lusinan film-film korea (dan timur jauh lainnya) yang romantis dan bikin hati teriris-iris itu... Bukan karena akting aktor-aktrisnya yang memukau, tapi karena gue sedang menangisi hidup gue yang les misérables.

Demikian.. maka dari hari ke hari lingkup pergaulan gue makin menyempit dan temen-temen gue yang available diajak jalan jadi sedikit. Seperti terputus dari dunia dan peradabannya. Hape juga jadi jarang bunyi. Paling juga seminggu cuman dapet tiga sms: dari Pak Rangga--bos gue, Info Layanan, dan satu lagi sms dari orang yang sedang mencoba peruntungannya dengan cara bo‘ong--bilang gue menang hadiah jutaan rupiah-lah... Tipu! Itu juga sebabnya gue kaget sekaligus gak percaya pas denger ringtone hape gue dikumandangkan merdu dengan batere yang isinya tinggal tiga strip itu...


Halow?

Halo, Ga. Pa kabar lo?

Eh.. elo.. pa kabar, nek? Gue baik.
--- kenalkan, ini temen gue dari jaman purba. Namanya Kalania. Kebetulan nama marganya Purba juga. Gue ma temen-temen SMA dulu sering manggil dia si Purba Kala. Dia emang seantik namanya. Dengan bodi kerempeng bak model internasional dan kulit hitam legam namun percaya diri, dialah Miss Ekonomis. Buat dia, semua hal dihitung dengan satuan rupiah (karena dollar kursnya terlalu tinggi) dan dalam kasus ini... pulsa!

Baek-baek, bow... Koq dah lama sih gak nelpon-nelpon lagi?

Lo sih.. sms gue jarang elo bales. Takutnya gue ngeganggu kesibukan elo... Skarang khan elo dah jadi wanita karir gitu...

Ah lo bisa aja, bow. Eh, bow-bow... gue ada cerita nih. Lo telpon gue yah...
--- Tuh, khan... apa gue bilang. Gue--yang selalu kesepian ini--biasanya gak pernah bisa nolak permintaan temen baik--yang meskipun sering gak baik ma gue--selalu gue lakuin. Tapi kali ini nggak ah... mana harga diri gue?

Eh, gue la... nut! nut! --- she hangs up! Damn, why she has to start it with.. “Eh, bow-bow... gue ada cerita nih,” bikin penasaran aja. Itu khan artinya dia punya crita panas nan seru buat bahan gosip. Terkutuklah engkau kebiasaan akut nge-gosip gue!

- Sepuluh pejetan nomor telepon kemudian -

Ada apa sih, nek? Bikin penasaran orang ajah... Pengin kawin elo?

Kalo nikah sih gue pengin.. tapi ma sapa?

Lhah.. pacar elo yang dulu itu? Kalian khan pasangan legendaris dari SMA sampe sekarang masih awet ajah...

Gue pingin putus niy.. Kayaknya gak bisa lanjut.

Ooo... Knapa?

Gue lagi jatuh cinta.

Hwe.. ma sapa?

Temennya temen gue. Kita kenalan seminggu kemaren. Kebetulan gue lagi nyari sponsor.. eh ketemu dia.

Dasar lo... Gimana orangnya?

Tinggi, putih, cakep-lah. Pokoknya lo lewat deh...

Makasih udah diingetin! Jadi elo mo mutusin si ‘muka lama’ karena ada si pangeran ini? Emang kalian dah s‘brapa deket sih Kal? Jangan-jangan cuma karena kagum doang. Blum cinta.
--- Sial! Siapa tuh yang bilang inner beauty lebih penting dari tampang?! Itu dia kenapa gue gak laku-laku... gue modal inner beauty doang! Sampe ke Robert Power s‘gala, coba!

Kita sms-an hampir tiap hari. Dia juga sering nelpon gitu... Gue baru ngerasain apa yang lo dulu critain soal si Santi itu... Yang ini beda, Ga! Gue gak ngerasain ini ke si ‘muka lama’. Kayak ada Permen Pop meledak-ledak di perut gue... pokoknya chemistry gitu lho, Ga. Tau khan?

Jadi inget sama Santi! Hiks... -- Trus?

Ya gitu deh... dia udah 35-an gitu, tapi belom nikah. Dia dah kerja di Arthabumi. Tau khan, real estate agent itu?

Arthabumi? Berarti dia sekantor ma temen gue, dong.. si Linda.

Ah, masa? Lo punya temen di Arthabumi?

Iya. Linda, temen kuliah gue. Si Linda pernah crita soal temen sekantornya yang cakep gitu... Jangan-jangan itu orang yang sama?
--- Dasar embeeerr... pasti bentar lagi dia minta...

Eh tanyain dong ke temen lo... si Linda itu.. soal dia. Namanya Perwira Natasiswaya. Please... makasih ya, bow... ntar gue tunggu laporan lo ya.

Emp..
nut! nut!

Kenapa orang lain yang jatuh cinta gue yang repot begini yak!? Yah, lumayan lah ngisi waktu minggu sore begini. Daripada nonton infoteinment tiada henti... sekarang gue yang giliran punya acara gosip sendiri yang perlu investigasi setajam silet dan kroscek dengan berbagai sumber sampai bisa di-insert!-in ke otak gue yang melompong ini.

Dah lama gue gak ngobrol ma Linda. Jadi--seperti orang-orang Indonesia lainnya--gue mulai dengan basa-basi. Sapa-menyapa. Ingat-ingat masa lalu. Sedikit nek dan banyak bow kemudian akhirnya ke pokok permasalahan:

W I R A ?!

Kenapa, Lin?

Cakep sih emang... tapi lo tau nggak...
--- tampaknya semakin menarik --- Dia itu khan cowo matre en suka tebar-tebar pesona gitu...

Oh ya?
--- hehehe... puas lo! Makannya inner beauty dong kaya gue! *inner beauty koq nge-gossip??*

Dia ya.. pernah jadian ma temen sebelah kubikal gue. Angelina. Tapi, gak ada asap gak ada api gitu.. tiba-tiba aja dia mutusin Angel tanpa alasan yang masuk akal gitu. Nah kalo temen lo itu emang cewe baik-baik --- nah, ini yang susahnya --- mending dia cari cowo lain aja deh. Si Wira itu emang rada playboy gitu...

Gue jadi gak sabar kasih tau Kal.

Matre gimana, Ga? --- emang enak patah hati!

Metroseksual gitu katanya Linda. Gak ngelirik ma yang kroco-kroco... maunya ma yang berduit gitu, Kal. Tunggu, Kal... elo khan gak tajir-tajir amat, koq dia mau ya ma elo.. maksud gue.. nelpon elo gitu, sms...

Sesenggukan --- Emang sih.. dia khan lagi pengin masukin adeknya ke tempat gue. Yah, Ga.. gue kayaknya gak jadi deh pisah ma si item. Kayaknya emang dia masi yang terbaik buat gue.

Ya udah, Kal. Elo sih makannya jangan ke-gr-an dulu. Dan jangan cuma liat cowo dari luarnya doang yang cihuiii... Lagian elo sama si item emang pasangan yang ideal, koq. Sama sih...

Sama apa?

Sama-sama item. Huehehe... Oww... cup.. cup. Tapi, setidaknya elo khan jadi belum jauh ngasih perasaan elo ke dia. Mendingan sakit sekarang daripada nanti...

Thanks ya, Ga.


Sore itu bunga bogenvil gue bergelayut ikut tersenyum. Gak ada pasangan nggak begitu masalah buat gue, selama gue punya temen-temen yang idupnya bisa gue gangguin buat bikin hidup gue seceriah merah fanta.

Dari seorang teman lama yang hampir mencampakkan cinta sejatinya.

Monday, May 15, 2006

From Bandung with Sampah!



Kebersihan adalah sebagian dari iman. Melihat kota Bandung yang tercinta ini dipenuhi timbunan sampah membusuk di mana-mana, sungguh sangat mengganggu mata dan yang pasti bau! Dan sampah bukan cuma berbentuk plastik atau organik lengkap dengan belatung-belatungnya, tapi juga sampah yang dikeluarkan mulut dan yang menggendap di dalam pikiran dan perbuatan kita nan kotor. Apa iya negeri ini sedang krisis kebersihan (baca: iman) juga? Oh...

Mungkin ketika negara lain ngeliat kondisi bangsa ini mereka akan bilang, "Asik-asik krisis ajah! Krisis ini-lah itu-lah... Keciaaaan dee lu." Ibarat-kata kita ini pesakitan yang gak tau lagi sebenernya sakit apa. Ada encok, ada reumatik, gangguan percernaan, sampai stroke ringan. Ke mana iman itu? Apa jangan-jangan sudah habis dibagi-bagi atau dikorupsi rame-rame? Hehehe..

Bayangkan, sudah sewindu (windu artinya periode 8 tahunan--in case ada dari Anda yang nggak tau artinya) kita berganti orde! Penasaran juga dengan orang yang mempopulerkan istilah ini.. kenapa kita selalu hidup dalam orde. Dulu ada Soekarno dengan ordenya yang oleh Orde Baru disebut sebagai Orde Lama, basi. Nah, ternyata yang baru pun bisa menjadi lama dan lapuk juga tak kalah basi. Setelah Orde--yang mengaku--Baru itu berakhir, ternyata tak lahir Orde Superbaru atau Orde Paling Gress, dsb. Ternyata yang nongol adalah sebuah orde yang serba repot dan penuh krisis: Orde Reformasi yang repot nasi.

Ada yang menyalahkan ekonomi kita yang bobrok sebagai penyebab krisis. Yang lain tak mau kalah mencari kambing hitam. Ada krisis moneter, krisis kebangsaan, krisis kesadaran sampai krisis moral. Banyak yang mengeluh, "Enakan juga jaman Soeharto. Serba tentram serba terkendali. Barang-barang juga serba murah."

Mungkin orang tadi ada benarnya juga. Lihat saja kebebasan yang kita dapat setelah Soeharto turun. Semua merasa berhak dan bebas mengetahui urusan pribadi orang--mulai dari siapa pacarnya saat ini sampai kapan cerainya, dst. Kebebasan juga diartikan secara ekstrem oleh saudara-saudara kita yang lain. Mereka merasa bebas untuk menimpuki kantor dan menghancurkan rumah-rumah biliar dengan mengusung-usung moral tanpa tahu bahwa sikap mereka itu juga tidak lebih bermoral dari pihak yang mereka serang. Ada juga yang merasa diri bebas mengatai orang lain sesat dan kemudian dilaknat tanpa pikir panjang.. bebas meneror mereka yang gak sependapat... Oh.. kebebasan menjadi senjata makan tuan!

Tapi, orang yang kangen Orba tadi juga gak sepenuhnya bener. Siapa bilang semuanya tentram? Mungkin memang riak-riak itu nggak keliatan di permukaan karena kesigapan aparat keamanan. Gimana bisa bersuara jika mulut dibungkam? Gimana mau berkonflik kalau belum apa-apa sudah diciduk? Emang air di embeeeer.. pake diciduk segala. Ibaratnya, jaman Orba itu sepi-sepi gunung merapi.. lhoh?

Bicara soal gunung Merapi yang sedang mules-mules. Oh iya.. saya sedang bicara soal gunung teraktif di dunia yang ada di tanah Jawa. Karena di ranah Minangkabau juga punya gunung dengan nama sama. Gak tau ya siapa yang meniru siapa. Konon, cerita Mak Lampir dan kawan-kawan yang berkisar di gunung Merapi itu aslinya juga bukan dari Jawa, tapi adalah kisah lokal di Sumatera Barat. Ngelantur deh...

Kembali ke gunung Merapi (yang di tanah Jawa). Meletusnya gunung ini jadi rebutan. Apa pasal? Entah, mungkin bagian dari perebutan simpati dan pengaruh. Siapa yang bisa memberi angka--jadi inget judi togel--tanggal kapan gunung ini akan muntah-muntah lava mungkin akan disambuti aplaus dan angkat topi. Gak cuma Balai Vulkanologi yang tebak-tebak buah manggis.. Mbah Maridjan dan--anehnya--Mbak Mega juga ikut-ikutan memasang taruhan!

Jika Mega hanya berani memberi angka--dan ternyata salah!--tanggal 6 atau 7 bulan mei ini sebagai 'D' Day.. maka Mbah Maridjan lebih patut diacungi jempol. Dua tangan! Dengan gagah berani, lelaki yang sudah menua namun tampak tetap segar itu menolak dievakuasi. Ia belum dapet mimpi Merapi akan meletus. Menurutnya, sekarang, Merapi cuma batuk-batuk saja. Maklum, musim flu burung. Wah! Orang-orang di Balai Vulkanologi harus banyak belar pada Mbah Maridjan! Sementara senjata mereka hanya seismograf dan teropong saja, Si Mbah punya kasur buat mimpi. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat warga dusunnya ogah ngungsi. Bahkan kata-kata Sri Sultan Hamengkubuwono sendiri kalah pamor dengan Mbah Maridjan. Salut!

Mungkin Mbah Maridjan bisa ditanya satu hal lagi: kemana kaburnya Gunawan Santosa yang bagai David Copperfield bisa menembus tujuh lapis tembok LP (istilah halus untuk penjara) Narkotik Cipinang. Peristiwa itu memang bukan sulap bukan sihir.. tapi perkara sogok menyogok. Gunawan ternyata kongkalikong dengan seorang (nah ini masih jadi tanda tanya) sipir LP yang membuatkannya kunci untuk kabur. Hmm... masa cuma berbekal kunci saja bisa kabur... pasti ada udang di balik batu, ada kunyuk-kunyuk di dalam LP berbaju cokelat-cokelat menyamar sebagai aparat! Hmm... Dan gak cuma sekali Gunawan berhasil lolos, tapi tiga kali! Tepuk tangan!

Bicara soal tepuk tangan... ia tak terdngar di Sendai, Jepang. Di sana yang ada hanya kecewa.. lagi-lagi langkah tim Thomas Indonesia terjegal di babak semifinal. Sama dengan dua tahun lalu di Shanghai, China. Yang lebih miris lagi... tim Uber sama sekali gak masuk babak utama, karena terseok di babak penyisihan. Sebaliknya, China masih kampium!

Ah... capek juga ternyata ngomongin orang. Bicara sampah ternyata bikin mulut dan kentut bau! Eh, ternyata gak cuma sampah yang bikin negeri ini kampium joroknya... ternyata di sela-sela hiruk pikuk berita sampah, ada berita emas! Dalam olimpiade fisika se-Asia di Khazakhstan, Indonesia mendapat dua emas dan berada di urutan kedua klasemen keseluruhan. Yang ini... emang baru bener-bener pantes diteriaki: Bravo!

Oh iya.. berita duka buat Indonesia. Bung Pram, sastrawan kita yang dinominasi dapet Nobel itu telah berpulang. Mereka yang berada di sampingnya saat ajal menjemput--lalu saya yang terharu lalu ikutan--berseru, "Kami masih butuh Bung!" ... Negeri telah jadi sampah raksasa... sampah benda-benda dan juga manusia. Oh... (aku belum sempat minta tanda tangan di satu-satunya buku beliau yang sampe sekarang belum juga abis gw baca: Jalan Raya Daendles).

Sekian sampah-sampah dari saya...

Hari ini terlalu banyak "Oh..."

PS: buat PikiranRakyat.com, terima kasih buat fotonya. Saya jadi gak usah susah2 pasang bodi dan kamera di samping setumpuk sampah di tempat yang sebenarnya bukan tempat sampah.