Korek Api

Tuesday, July 18, 2006

Sandek

- pesan pendek -

Di suatu malam... biiip, biiip, biiip...

+62856******* wrote:
M***..bantu aq. dg apa aq harus membayar perasaan yang tulus?smentara aq tulus pd orang lain? sori pertanyaane ga pd tmpt,wkt&sikon yang tepat.trims b4.

+6281802****** wrote:
Blg ma tu orang: "Lo tulus 'kan ma gue? Nah kalo gt, kalo gw ga bs bales ktulusan lo itu, elo harus tulus nrimanya ya... (Lhoh) katanya tulus.. koq maksa sih." Beres dah.


PS: kadang solusi masalah yg kita hadapin tu gampang banget... tapi giliran kita sendiri yang kena... duh!!! Mungkin itu sebabnya kita selalu butuh temen... :)

Bencana dan Kambing Hitam

- gemeees! -

Setelah sekali lagi Indonesia digoyang bencana—gempa dan tsunami di pantai selatan pulau Jawa senin (17/7) sore—beberapa orang berkomentar di televisi lewat telepon dan sandek yang intinya mengatakan bahwa Tuhan menghadirkan bencana itu dengan pesan supaya kita (mulai) menegakkan “hukum”-Nya. Oh...


Saya hanya bisa membayangkan sebuah negeri beradab yang terus bergerak maju.. ya, Anda boleh juga meletakkan di sana orang-orang yang menurut kategori anda beriman, bertakwa, atau apalah namanya.

Suatu saat negeri itu disambangi bencana di suatu sore yang mendung. Alarm dan alat-alat peringatan dini yang dipasang luput mendeteksi kedatangannya... beberapa bagunan runtuh, tak sedikit pula manusia yang meninggal.

Di dalam bayangan saya, mereka kemudian terpekur sejenak menatap kerusakan yang terjadi, beberapa bersedih dan murung... tapi tidak lama, dan tidak ada pula yang berspekulasi tentang pesan Tuhan di balik kejadian itu.

Ya, manusia hanya bisa berspekulasi jika sedang bicara tentang apa mau-Nya. Atau paling banter, mengutip-ngutip sabda-Nya dulu. Tuhan tak pernah membubuhkan tanda tangan-Nya di setiap musibah, apalagi meninggalkan pesan.

Bencana akan selalu ada, yang berbeda adalah bagaimana reaksi kita. Yang malas akan selalu mencari kambing hitam... mereka bisa menyalahkan apa saja, mulai dari tempat-tempat mesum sampai soal hukum negara yang tidak agamis. Tak ada habisnya... 1001 hal bisa diseret-seret lalu dipersalahkan.

Sedangkan mereka yang pandangannya tidak sempit dan berkehendak untuk maju takkan sempat berpikir begitu. Mereka tahu Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas bumi yang sering bergejolak, bencana seharusnya adalah hal yang tidak membuat kita terkejut lagi.

Selama ini kita selalu mengaitkan bencana semata karena amarah-Nya. Akibatnya, tak ada yang mau belajar bagaimana mengatasinya, atau setidaknya meminimalkan dampaknya. Banyak pula yang enggan melihat bencana itu dari kacamata realita tapi lebih senang menyederhanakannya menjadi sebuah fenomena keimanan semata.

Memang lebih enak begitu. Karena mereka tak perlu berbenah diri. Jika begitu kita tak perlu lagi teknologi dan ilmu pengetahuan, kita cuma perlu warung-warung kopi dan sediakan pentungan, golok, dan toa. Tinggal gusur dan ratakan semua tempat maksiat dan jadikan agama sebagai dasar negara... maka bencana dijamin takkan datang lagi! Tapi siapa yang bisa menjamin?

Ada yang berkelit: Karena kita manusia yang spiritual! Jika yang dia maksud dengan spiritual adalah ke mana-mana pakai tasbih dan berdandan ala luar-negeri juga sedikit-sedikit mengutip kitab suci... saya berani jamin, spiritualitas macam itu tidak akan membawa kemajuan karena agama cuma dijadikan monumen bukannya bahan bakar untuk melesat maju.

Sudahlah, stop komentar bodoh semacam itu lagi! Kita punya pilihan di depan kita: mau memakai bencana ini untuk memperbaiki diri agar jika bencana itu datang lagi tidak akan banyak membunuh dan merusak, lalu yang juga penting adalah bagaimana membentuk sistem penanggulangan bencana yang lebih solid dan menasional... atau kita hanya ingin menggunakannya untuk mencari-cari kambing hitam?

Saturday, July 15, 2006

The Answer

- movie moments -

Dalam sekejap semua suara ilang. Kayak ada spons raksasa yang bisa nyerep suara dari dalem ruangan itu. Coky bisa denger detik jam dinding di belakang bapak-bapak kacamataan—asli, dia lupa namanya—yang pake kemeja ungu muda. Dia ama empat pewawancara lagi, dua perempuan, dengan tatapan yang tajem menunggu jawaban Coky. Oh Nadine I can understand your nervousness...

---

Coky masih sempet nonton infoteinment tadi pagi. Di sana Nadine Chandrawinata—perwakilan Indonesia untuk ajang Miss Universe 2006—dikritik abis-abisan. Dalam wawancara pertama kali yang dilakukan pihak panitia secara resmi itu Nadine seolah menjadi living proof bahwa Tuhan emang adil: bahwa kencantikan dan otak encer-meler-luber tidak bisa hadir bersamaan seketika.. atau yang ada adalah bencana!

“Ah tapi nggak juga koq,” sahut si Aduy sewot kayak dia ama Nadine punya sesuatu yang perlu ‘dipertahankan’ dari cacian masyarakat Indonesia yang rindu sasaran empuk hujatan yang sempat sepi sejak final piala dunia kemaren.

“Tuh khan... Nadine lagi sakit kepala.” Aduy masih nunjuk-nunjuk layar tipi 14" di ruang tengah kosan. Aduy mengutip belaan Artika Sari Dewi, Miss Indonesia tahun lalu.

Lembar depan tabloid langganan Bu Kos yang tergeletak di meja mengutip komentar Nadine, “...bahasa Inggris saya suka gugup.”

“Bahasa Indonesianya aja kacau!” Doni nyahut sambil nenteng cucian kotor.

Sementara itu Coky selesai masang kaos kaki dan pake sepatu. Sejam lagi dia tes wawancara. “Eh, gue cabut dulu ya... Doain gue, guys!

“Hore.. ntar sore makan-makan,” sahut Aduy yang rautnya udah berubah 180 derajat, nggak sewot lagi.

“Halah!!”

---

Udah 40 menit ini Coky duduk di kursi yang bikin dia panas dingin. Dari semua pertanyaan yang diajuin Coky cuman ngerasa bener waktu diminta memperkenalkan diri. Selebihnya... entah jawabannya ngaco ato lidahnya belibet salah ngomong.

Ini pertanyaan terakhir. Coky berdoa dalam hati, minta ma Tuhan biar sekali ini aja dia bisa ngasih jawaban yang smart dan elegan.

“Ee.. maaf bisa diulangi, Pak?” Douh! Kenapa di kepala gue cuma ada Nadine yang bilang kalo Indonesia itu adalah sebuah city dan Bunda Theresa ia sebut “my admirer”. Lo nggak sendiri koq Din. Kita sama.. kita senasib.. kita berjodoh.. kita.. Oh I love you, Nadine... * ???

Bapak itu ngulangi pertanyaan dengan enggan, “Coba kamu dengarkan baik-baik. Misalkan kamu sedang melarikan diri dari letusan gunung berapi. Kamu beruntung punya mobil. Nah, di perjalanan kamu bertemu tiga orang di tepi jalan.

“Pertama, ibu-ibu tua yang sedang sakit. Dia sakit parah dan perlu pertolongan segera. Kedua, sahabat kamu yang mana kamu berhutang budi karena pernah ditolong. Dan ketiga.. gadis impian kamu. Sayangnya di mobil kamu cuma tersisa satu tempat lagi. Siapa yang akan kamu ambil?”

?? Gak salah nih pertanyaannya... Lalu dengan pede Coky menjawab, “Saya kasih kunci mobil ke sahabat saya. Lalu saya meminta dia mengantarkan ibu tadi untuk mencari pertolongan. Dan, saya tinggal bersama dengan cewek itu.. karena dia kan gadis impian saya. Dan, semuanya akan baik-baik saja.”

Lima orang yang ngewawancarai Coky terdiam seribu bahasa ndenger jawabannya.

---

“Gila lo! Jawaban lo keren juga... Gak nyangka gue punya temen yang cerdas kayak gini,” kata Aduy dengan mulut penuh makanan.

“Hehe.. kata orang ‘We'd rather be lucky than good’, mending jadi orang yang beruntung daripada orang baik-baik,” kata Coky sambil ngambil satu udang saos tiram.

“Mmmh.. iya.. itu gue pernah denger itu. Kalo gak salah prolognya film... mm.. Match Point ya?” Doni nimpali.

“Trus apa hubungannya ma wawancara lo?” kata Roni.

“Gini... semalem sebelum tidur gue sempet nonton satu film. Yang maennya Bruce Willis. Di film itu dia jadi polisi yang ngelindungi saksi soalnya banyak yang pingin dia mati. Judulnya 16 Blocks. Nah ada adegan di film itu si saksi ngasih pertanyaan ke Bruce Willis.

“Nah.. pertanyaannya itu persis sama ma yang tadi ditanyaain waktu gue wawancara. Ya pas ditanya itu ya gue jawab aja persis sama ma jawaban si Bruce. Hehehehe...”

... “Huuu.. dasar movie maniac!” sahut Aduy, Doni, dan Roni bareng.

“Bang.. cumi saos merahnya mana?!”

Sore itu yang mereka ingat cuma: kenyang.