Korek Api

Friday, September 29, 2006

Birokrasi

- Ah! -

Gue ga pernah bisa menikmati yang namanya birokrasi di negeri ini. Lebih-lebih lagi birokrasi buat ke luar negeri.. *douh!* Ya, ya, ya.. gue tahu kalo semua formulir yang harus diisi, x-ray sampai paspor itu emang tidak mengada-ada. Mungkin karena trauma dengan birokrasi negeri sendiri yang seringkali memusingkan sesuatu yang gak begitu guna. Tapi mungkin yang paling jadi beban ya itu... takut. Takut gagal, berantakan, ... titik.

Suatu hari ketakutan itu tertangkap juga oleh Guru. Ah, dia sih slalu tahu...

Guru: Kenapa? Wajahmu koq ditekuk, dilipet-lipet kayak gitu...

aku: Pusing, Guru. Begitu banyak yang harus dikerjakan; surat-surat, formulir.. tapi yang paling mengganggu saya adalah kenyataan bahwa ada ketakutan di dalam pikiran saya.. A big one.

Guru: Takut apa?

aku: Takut gagal. Takut semua yang saya rencanain berantakan.. porak-poranda.

Guru: Hey, bukannya kamu sendiri yang dulu pernah bilang; 'Kebanyakan hal indah yang datang dalam hidupku terjadi tanpa direncana-rencanakan'... So, why bother now?

Itulah mengapa kamu begitu kusut--sehingga yang kamu lihat semua ya ikut kusut--karena kamu tidak membiarkan hidupmu mengalir.. mungkin keruh, sekeruh Cikapundung, tapi yang penting mengalir. Bukannya tidak boleh membuat rencana.. tapi JANGAN TERMAKAN RENCANAMU SENDIRI!

Ah! Guru... bisa aja.

Thursday, September 21, 2006

Ngutang (bukan pake kutang!)

- Ah!... -

Dengan secangkir teh, di suatu sore di bawah sebuah pohon yang rindang:

aku: Guru, saya teringat; almarhumah nenek saya (semoga beliau dilimpahi kebahagiaan) pernah memberi tips tentang kehidupan pada anak-anaknya, “Wong urip iku ojo ngutang lan ojo ngutangké.” (Jawa - Orang hidup itu jangan berhutang dan jangan memberi hutang.) Menurut Guru?

Guru: Nenekmu seorang bijak!

aku: Tapi, bukankah Guru selalu berbicara tentang memberi.. memberi dan memberi?

Guru: (tersenyum) Kita sedang membicarakan tentang hutang-piutang. Bukan soal memberi dan menerima. Hutang atau berhutang tidak sama dengan memberi dan menerima. Hubungan yang berdasarkan hutang-piutang adalah hubungan dagang semata. Maka, mereka yang terlibat dalam hutang-piutang akan turun kualitas hubungannya.. dari hubungan kekerabatan yang penuh kasih.. menjadi hubungan dagang. Dan, dalam dagang, manusia akan saling mengambil jarak.. karena setiap pihak akan memikirkan soal ‘keuntungan’ atau ‘kerugian’. Jika kamu ingin memberi, memberilah dengan tulus, jangan ngutangi.

Kalau kita sudah mulai berhutang, itu artinya kita sudah melewati batas.. kita hidup melebihi kebutuhan, kita tidak bijak mengelola apa yang kita punya. Jangan menyalahkan nasib! Jangan mengutuk takdir! Kita pasti menuai apa yang kita semai. Adil! Mekanisme alam ini selalu adil. Ia tak pernah salah.

Ah! Sebuah sore yang cerah...

Thursday, September 14, 2006

wisuda1


wisuda1
Originally uploaded by harees27.
di depan gerbang. arak-arakan, dimulailah...

redtraction


atraksi-2
Originally uploaded by harees27.
bikin formasi di atas aspal yang panas, plus atraksi2 ... semua untuk membahagiakan wisudawan :)

Monday, September 11, 2006

Anak Pinak

- foto sejenak -

Tak terasa... makin tua aja kita. Ini foto seorang teman seangkatan jaman kuliah dulu (Roni) yang sudah nyempet2in dateng wisudaan. Jauh2 dateng bersama istri (belakang) dan anak dari Tanggerang dengan motor.


Sekali Lagi Wisudaan

- foto sejenak -

Sekali lagi... tapi seperti kata pepatah,
no school like old school!

Lemari

Tempat itu ada. Ia tahu itu. Pasti. Tapi, ia lupa jalan ke sana.

Sebuah dunia yang istimewa buat Ndaru. Sebuah oase, tapi lebih baik. Di mana seteguk airnya cukup untuk hidup berminggu-minggu, bahkan terkadang mencapai hitungan bulan... Bukan hidup yang biasa, tapi hidup yang—kata Ndaru—pantas disebut hidup. Ah, Ndaru hanya bisa mengenang.

Walau ia tahu ia tak perlu peta dan seransel penuh bekal untuk pergi ke sana, ada yang membuat Ndaru selalu urung. Bukan kesibukan di kantor, karena belakangan ini tak banyak hal yang membuatnya sekedar memakai separuh saja otak dan waktunya. Bukan pula perempuan itu yang setiap dua jam meng-sms dia untuk sekedar bertanya ‘Sudah makan?’ atau ‘Lagi ngapain?’ atau untuk mengucapkan kalimat yang makin lama makin risih terdengar di telinganya: ‘I love you!’ Bukan.

Matahari sepertinya makin cepat saja menggelinding di langit siang. Malam juga tak sepanjang yang dahulu pernah dirasainya ketika kecil. Kata orang, itu hanya perasaannya saja. Waktu tak pernah berjalan di rel roller coaster, yang sesekali menukik lalu lain kali melambat penuh ketegangan di puncak ketinggian. Menurut Ndaru, ia merasa begitu, mungkin karena ia telah jauh dari oasenya... karena ia terlalu sibuk dengan sang gurun. Ia tersesat. Ia lupa jalan pulang.

Ndaru membuka matanya. Sebuah jam digital ‘berdetak’ tepat di hadapannya. Sang waktu sedang di puncak; melambat sampai ia bisa merasai bahwa sedetik tersusun dari beberapa satuan tak tersebut yang berjajar bagai blok-blok bata. Dua puluh sembilan misscall dan lima puluh tiga sms tak terbaca. ‘Ndaru sedang tak ingin menjadi Ndaru. Ia ingin pergi tapi tak cukup berani untuk bunuh diri,’ katanya kepada kamar tidurnya yang sepekat kopi.

---

Tok.. tok.. tok.. Terdengar seseorang mengetuk pintu depan apartemennya. ‘Siapa?’

‘Aku! Jam gini koq udah tidur sih!’ Ndaru mengenali suara itu. Karena itu pula ia melepas nafasnya—yang beberapa saat tanpa ia sadari ia tahan—dengan malas.

Rayka. Tetangganya yang selalu saja punya bahan untuk dibuat ‘curhat’ tak peduli kapan, yang penting ia sedang ingin membuang penatnya. ‘Dasar kalong penghisap darah!’ Ndaru menahan kesalnya. Ia capek; bahkan pada kecapekannya sendiri.

‘Gue bawa pizza tuna nih. Kesukaan lo.’ Rayka masuk saja, nyelonong dari celah sempit pintu.

‘Mau apa sih Ray? Gue harus tidur nih... besok ada presentasi yang kudu gue siapin pagi-pagi.’ Ndaru tak peduli jika ia harus masuk neraka karena berbohong. Ndaru tak pernah terlalu muluk soal akan masuk rombongan mana: surga atau neraka. Buat Ndaru hidupnya sekarang tak lebih baik daripada neraka. Ia optimis bisa krasan di sana.

‘Bentar aja... Temenin gue habisin ini.’ Itu artinya SEMALAMAN. ‘Sambil nonton bola..’ Ndaru tak pernah suka permainan itu kecuali ikut-ikutan heboh waktu Piala Dunia. Itupun karena semua orang ngomongnya itu-itu mulu; bahkan seringkali omongan mereka sebenarnya bisa dibaca di rubrik-rubrik olahraga di koran pagi atau Detik.com. Basi!

‘Kenapa tivi elo? Rusak?’

‘Nggak.. cuma nggak asik aja nonton sendirian.’

‘Kenapa nggak ke pak Rustam sebelah aja. Dia kan maniak bola juga.’ Ndaru mulai nggak sabaran.

‘Nggak enak nonton ma dia. Kerjanya komentaaaar mulu!’---‘Ya! Look who's talking,’ kata Ndaru dalam hati.

‘Terserah elo-lah. Ntar kalo dah selese, jangan lupa matiin tivi, trus tutup pintu gue.’ Ndaru masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Ray yang mendadak bengong. ‘Ndaar.. Ndaaaru ... Yah...@#^’

---

Kalau saja... ya, kalau saja dalam sepejaman mata Ndaru bisa menyingkirkan Rayka dari ruang tamunya, menyingkirkan Lita dan semua sms yang makin non sense, juga pekerjaan dan teman-temannya... termasuk seluruh hidupnya. Masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang menghisap realitas tanpa ampun.

Tapi, semakin keras ia memjam, makin ia menyadari bahwa lubang hitamnya hanya pelipur biasa yang sesaat.

Tiba-tiba Ndaru teringat pada oase kanak-kanaknya. Ia masih ingat di mana ia dulu biasanya lari ketika ibunya mulai melempar piring-piring sambil mengumapt-umpat dan ayahnya terduduk seperti pesakitan yang tak mencoba menepis vonis: sebuah sudut dalam lemari pakaian. Mungkin lemarinya bukan perkara penting, tapi kegelapannya yang menarik jiwanya menjelajah sebuah dunia yang ia ingini, dunia tanpa hal-hal yang ia benci.

---

Orang ramai telah mulai kembali ke tempatnya masing-masing. Beberapa lelaki berseragam merampungkan peralatannya, sementara yang lain saling bicara. Kebanyakan dari mereka berkumis tebal.

Lelaki berkumis yang lain telah selesai memasang pembatas kuning terang di depan pintu. Sejam sebelumnya, beberapa lelaki lain—yang ini tanpa kumis—berbeda seragam dengan yang ini, telah pergi dengan kantung plastik besar.

‘Kehabisan oksigen,’ kata pak Rustam kepada lelaki paruh baya yang bertanya. Lelakiitu sepertinya bukan warga apartemen sini. Mungkin wartawan sebuah koran merah.

‘Bapak kenal?’

‘O iya.. saya kenal baik dia. Kasihan. Dia masih bujang.’ --- ‘Apa hubungannya?’ Sang wartawan bertanya dalam hati. ‘Saya ndak nyangka, dik Ndaru berakhir tragis seperti itu. Apa ya yang dipikirkan dia, koq bisa-bisanya ia terkuci dalam lemari seperti itu.’

Empat menit kemudian mereka berdua berbincang tentang pertandinga bola semalam. Pak Rustam mengundang lelaki itu masuk apartemennya.

Kamis, 7 September, 0:27
lemariku tak muat lagi menampungku
hehehehehe

Tuesday, September 05, 2006

Kuntum-tuntum Bersayap

- foto sejenak -

Beberapa hari ini gw sering bergaul ama tanah dan kembang-kembang (lagi bikin kebun buat rumah baru)... Foto2 ini saya ambil di Lembang di sebuah siang yang terik.

Oldgawn. Nikon D200, lensa standar 35-70



Summerscent.




Sebulan kemarin saya sempat mudik dan berkunjung ke Bali Bird Park (a very nice place to hunt good pics). Flu Burung... siapa takut!! Hehehehe..


Burung Merah. Nikon D200. Lensa semi-tele (70-300 mm).


Bird in Paradise.