Korek Api

Monday, September 11, 2006

Lemari

Tempat itu ada. Ia tahu itu. Pasti. Tapi, ia lupa jalan ke sana.

Sebuah dunia yang istimewa buat Ndaru. Sebuah oase, tapi lebih baik. Di mana seteguk airnya cukup untuk hidup berminggu-minggu, bahkan terkadang mencapai hitungan bulan... Bukan hidup yang biasa, tapi hidup yang—kata Ndaru—pantas disebut hidup. Ah, Ndaru hanya bisa mengenang.

Walau ia tahu ia tak perlu peta dan seransel penuh bekal untuk pergi ke sana, ada yang membuat Ndaru selalu urung. Bukan kesibukan di kantor, karena belakangan ini tak banyak hal yang membuatnya sekedar memakai separuh saja otak dan waktunya. Bukan pula perempuan itu yang setiap dua jam meng-sms dia untuk sekedar bertanya ‘Sudah makan?’ atau ‘Lagi ngapain?’ atau untuk mengucapkan kalimat yang makin lama makin risih terdengar di telinganya: ‘I love you!’ Bukan.

Matahari sepertinya makin cepat saja menggelinding di langit siang. Malam juga tak sepanjang yang dahulu pernah dirasainya ketika kecil. Kata orang, itu hanya perasaannya saja. Waktu tak pernah berjalan di rel roller coaster, yang sesekali menukik lalu lain kali melambat penuh ketegangan di puncak ketinggian. Menurut Ndaru, ia merasa begitu, mungkin karena ia telah jauh dari oasenya... karena ia terlalu sibuk dengan sang gurun. Ia tersesat. Ia lupa jalan pulang.

Ndaru membuka matanya. Sebuah jam digital ‘berdetak’ tepat di hadapannya. Sang waktu sedang di puncak; melambat sampai ia bisa merasai bahwa sedetik tersusun dari beberapa satuan tak tersebut yang berjajar bagai blok-blok bata. Dua puluh sembilan misscall dan lima puluh tiga sms tak terbaca. ‘Ndaru sedang tak ingin menjadi Ndaru. Ia ingin pergi tapi tak cukup berani untuk bunuh diri,’ katanya kepada kamar tidurnya yang sepekat kopi.

---

Tok.. tok.. tok.. Terdengar seseorang mengetuk pintu depan apartemennya. ‘Siapa?’

‘Aku! Jam gini koq udah tidur sih!’ Ndaru mengenali suara itu. Karena itu pula ia melepas nafasnya—yang beberapa saat tanpa ia sadari ia tahan—dengan malas.

Rayka. Tetangganya yang selalu saja punya bahan untuk dibuat ‘curhat’ tak peduli kapan, yang penting ia sedang ingin membuang penatnya. ‘Dasar kalong penghisap darah!’ Ndaru menahan kesalnya. Ia capek; bahkan pada kecapekannya sendiri.

‘Gue bawa pizza tuna nih. Kesukaan lo.’ Rayka masuk saja, nyelonong dari celah sempit pintu.

‘Mau apa sih Ray? Gue harus tidur nih... besok ada presentasi yang kudu gue siapin pagi-pagi.’ Ndaru tak peduli jika ia harus masuk neraka karena berbohong. Ndaru tak pernah terlalu muluk soal akan masuk rombongan mana: surga atau neraka. Buat Ndaru hidupnya sekarang tak lebih baik daripada neraka. Ia optimis bisa krasan di sana.

‘Bentar aja... Temenin gue habisin ini.’ Itu artinya SEMALAMAN. ‘Sambil nonton bola..’ Ndaru tak pernah suka permainan itu kecuali ikut-ikutan heboh waktu Piala Dunia. Itupun karena semua orang ngomongnya itu-itu mulu; bahkan seringkali omongan mereka sebenarnya bisa dibaca di rubrik-rubrik olahraga di koran pagi atau Detik.com. Basi!

‘Kenapa tivi elo? Rusak?’

‘Nggak.. cuma nggak asik aja nonton sendirian.’

‘Kenapa nggak ke pak Rustam sebelah aja. Dia kan maniak bola juga.’ Ndaru mulai nggak sabaran.

‘Nggak enak nonton ma dia. Kerjanya komentaaaar mulu!’---‘Ya! Look who's talking,’ kata Ndaru dalam hati.

‘Terserah elo-lah. Ntar kalo dah selese, jangan lupa matiin tivi, trus tutup pintu gue.’ Ndaru masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Ray yang mendadak bengong. ‘Ndaar.. Ndaaaru ... Yah...@#^’

---

Kalau saja... ya, kalau saja dalam sepejaman mata Ndaru bisa menyingkirkan Rayka dari ruang tamunya, menyingkirkan Lita dan semua sms yang makin non sense, juga pekerjaan dan teman-temannya... termasuk seluruh hidupnya. Masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang menghisap realitas tanpa ampun.

Tapi, semakin keras ia memjam, makin ia menyadari bahwa lubang hitamnya hanya pelipur biasa yang sesaat.

Tiba-tiba Ndaru teringat pada oase kanak-kanaknya. Ia masih ingat di mana ia dulu biasanya lari ketika ibunya mulai melempar piring-piring sambil mengumapt-umpat dan ayahnya terduduk seperti pesakitan yang tak mencoba menepis vonis: sebuah sudut dalam lemari pakaian. Mungkin lemarinya bukan perkara penting, tapi kegelapannya yang menarik jiwanya menjelajah sebuah dunia yang ia ingini, dunia tanpa hal-hal yang ia benci.

---

Orang ramai telah mulai kembali ke tempatnya masing-masing. Beberapa lelaki berseragam merampungkan peralatannya, sementara yang lain saling bicara. Kebanyakan dari mereka berkumis tebal.

Lelaki berkumis yang lain telah selesai memasang pembatas kuning terang di depan pintu. Sejam sebelumnya, beberapa lelaki lain—yang ini tanpa kumis—berbeda seragam dengan yang ini, telah pergi dengan kantung plastik besar.

‘Kehabisan oksigen,’ kata pak Rustam kepada lelaki paruh baya yang bertanya. Lelakiitu sepertinya bukan warga apartemen sini. Mungkin wartawan sebuah koran merah.

‘Bapak kenal?’

‘O iya.. saya kenal baik dia. Kasihan. Dia masih bujang.’ --- ‘Apa hubungannya?’ Sang wartawan bertanya dalam hati. ‘Saya ndak nyangka, dik Ndaru berakhir tragis seperti itu. Apa ya yang dipikirkan dia, koq bisa-bisanya ia terkuci dalam lemari seperti itu.’

Empat menit kemudian mereka berdua berbincang tentang pertandinga bola semalam. Pak Rustam mengundang lelaki itu masuk apartemennya.

Kamis, 7 September, 0:27
lemariku tak muat lagi menampungku
hehehehehe

0 Comments:

Post a Comment

<< Home