Korek Api

Tuesday, July 18, 2006

Bencana dan Kambing Hitam

- gemeees! -

Setelah sekali lagi Indonesia digoyang bencana—gempa dan tsunami di pantai selatan pulau Jawa senin (17/7) sore—beberapa orang berkomentar di televisi lewat telepon dan sandek yang intinya mengatakan bahwa Tuhan menghadirkan bencana itu dengan pesan supaya kita (mulai) menegakkan “hukum”-Nya. Oh...


Saya hanya bisa membayangkan sebuah negeri beradab yang terus bergerak maju.. ya, Anda boleh juga meletakkan di sana orang-orang yang menurut kategori anda beriman, bertakwa, atau apalah namanya.

Suatu saat negeri itu disambangi bencana di suatu sore yang mendung. Alarm dan alat-alat peringatan dini yang dipasang luput mendeteksi kedatangannya... beberapa bagunan runtuh, tak sedikit pula manusia yang meninggal.

Di dalam bayangan saya, mereka kemudian terpekur sejenak menatap kerusakan yang terjadi, beberapa bersedih dan murung... tapi tidak lama, dan tidak ada pula yang berspekulasi tentang pesan Tuhan di balik kejadian itu.

Ya, manusia hanya bisa berspekulasi jika sedang bicara tentang apa mau-Nya. Atau paling banter, mengutip-ngutip sabda-Nya dulu. Tuhan tak pernah membubuhkan tanda tangan-Nya di setiap musibah, apalagi meninggalkan pesan.

Bencana akan selalu ada, yang berbeda adalah bagaimana reaksi kita. Yang malas akan selalu mencari kambing hitam... mereka bisa menyalahkan apa saja, mulai dari tempat-tempat mesum sampai soal hukum negara yang tidak agamis. Tak ada habisnya... 1001 hal bisa diseret-seret lalu dipersalahkan.

Sedangkan mereka yang pandangannya tidak sempit dan berkehendak untuk maju takkan sempat berpikir begitu. Mereka tahu Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas bumi yang sering bergejolak, bencana seharusnya adalah hal yang tidak membuat kita terkejut lagi.

Selama ini kita selalu mengaitkan bencana semata karena amarah-Nya. Akibatnya, tak ada yang mau belajar bagaimana mengatasinya, atau setidaknya meminimalkan dampaknya. Banyak pula yang enggan melihat bencana itu dari kacamata realita tapi lebih senang menyederhanakannya menjadi sebuah fenomena keimanan semata.

Memang lebih enak begitu. Karena mereka tak perlu berbenah diri. Jika begitu kita tak perlu lagi teknologi dan ilmu pengetahuan, kita cuma perlu warung-warung kopi dan sediakan pentungan, golok, dan toa. Tinggal gusur dan ratakan semua tempat maksiat dan jadikan agama sebagai dasar negara... maka bencana dijamin takkan datang lagi! Tapi siapa yang bisa menjamin?

Ada yang berkelit: Karena kita manusia yang spiritual! Jika yang dia maksud dengan spiritual adalah ke mana-mana pakai tasbih dan berdandan ala luar-negeri juga sedikit-sedikit mengutip kitab suci... saya berani jamin, spiritualitas macam itu tidak akan membawa kemajuan karena agama cuma dijadikan monumen bukannya bahan bakar untuk melesat maju.

Sudahlah, stop komentar bodoh semacam itu lagi! Kita punya pilihan di depan kita: mau memakai bencana ini untuk memperbaiki diri agar jika bencana itu datang lagi tidak akan banyak membunuh dan merusak, lalu yang juga penting adalah bagaimana membentuk sistem penanggulangan bencana yang lebih solid dan menasional... atau kita hanya ingin menggunakannya untuk mencari-cari kambing hitam?

1 Comments:

  • At 6:56 AM, Anonymous Anonymous said…

    This comment has been removed by a blog administrator.

     

Post a Comment

<< Home