Korek Api

Monday, January 16, 2006

Bad-Publication (II)

"Nda, ..eugh... kenapa sih lo gak bilang..."

"Ah lo gak usah malu lagi, Cok. Jujur aja, lo seneng khan liatnya..."

Cokro ngelirik jijik ke panggung buat ngecek sekali lagi. Nggak. Dia yakin dia sama sekali nggak sedang bersenang-senang. Lebih mirip mabuk laut: perutnya mual, kepalanya pusing. Mana lupa bawa Antimo, lagi. Mereka dapet tempat duduk paling deket panggung. Banyak kursi-kursi lain di belakang mereka mengelilingi panggung.

"Halah, lo khan yang sering bilang kalo liat cewek pergi ke kamar ganti sambil bilang: 'anggep aja gue...'"

"Itu khan gue becanda lagi Nda. Skali lagi gue bilang, gue bukan...," giliran Vantaa yang motong kalimat Cokro.

"Udahlah.. tunggu bentar lagi. Gue masih harus ngewawancarain pengelolanya. Katanya bentar lagi dia dateng. Gue dah buat janji ma dia."

"'Nda, yang di sana ngedip ke gue.. ih serem, Nda," wajahnya berubah ungu-kehijauan.

"Dah, gak usah lo liat... Cengeng banget sih lo!"

This book must be a best-seller, kalo gak percuma segala pengorbanan gue!

---

Ruangan sudah penuh pengunjung. Cokro semakin kikuk, serasa pingin lari secepat mungkin ke luar sebelum semuanya terlambat.

Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya dateng. Cowok kemayu nan dendi super wangi dengan pakaian dan rambut berwarna sama: hijo lemper, menghampiri mereka. Dia ditemenin bodyguard kaya' Man in Black di depan tadi.

Vantaa keliatan asik ngobrol dengan orang yang waktu kenalan tadi ngaku namanya Benny. Setelah salaman, Cokro gak ngikutin lagi pembicaraan mereka. Sepertinya hangat dan menarik. Sesekali mereka berdua melirik ke arah Cokro sambil tertawa-tawa ringan. Entah apa yang mereka bicarakan. Terserah, yang penting kalian cepet selesai.

Yang ada di pikiran Cokro sedari tadi cuma kloset. Dia pingin muntah. Dia gak berani lagi menatap ke arah panggung. Sekali lirikan, dia yakin, isi perutnya akan tumpah di sana, detik itu juga. Sebisa mungkin matanya melihat ke lain arah panggung. Kakinya goyang-goyang gelisah, kayak penjahit kejar setoran.

Hentakan-hentakan house music seakan genderag perang menabuhi hasrat dan gairah para pengunjung. Wanita-wanita yang dia lihat tadi sebelum masuk, duduk mengumpul di sana, agak jauh dari tempat Cokro. Kapan ya mereka ini yang naik...

Tiba-tiba, di antara orang-orang yang duduk di sana, di belakangnya, haahhh.. dia gak yakin dengan matanya: itu khan Pak Richard! Dosen pembimbingnya duduk di sana, gak jauh dari mereka.

Bagai harus memilih: mau masuk mulut harimau atau mulut buaya, Cokro gak tahu harus ngeliat ke arah mana lagi. Cokro milih diterkam harimau, walaupun itu berarti setiap malam sejak hari ini dia akan bermimpi buruk dan mengambil risiko muntah. Dia berusaha secepat mungkin menutup dan mengalihkan wajahnya ke arah panggung supaya ga kelihatan 'ma Pak Richard. Tapi terlambat. Pak Richard melambaikan tangannya sambil melempar senyum. Dia tahu!

Cokro hanya bisa tersenyum kaku. Dia sudah tergigit buaya, dan sedang dikunyah pelan-pelan. Senyuman mesum Pak Richard terasa bagai gigi-gigi buaya yang agak tumpul, sakitnya lebih lama terasa.

Cokro dah gak kuat lagi. Ditariknya tangan Vantaa. Mereka berjalan ke arah pintu keluar... "Thanks ya Ben..." Untung Vantaa sudah dapet semua yang diperluin. Kepergian mereka sama sekali nggak digubris para pengunjung di sana, kecuali: Benny dan Pak Richard.

---

Besoknya, yang ada di pikiran Cokro adalah pergi ke gereja dan membuat pengakuan dosa di depan pendeta seharian penuh.

Malam jahanam itu adalah terakhir kalinya Cokro ketemu Vantaa. Tiga bulan berlalu. Kejadian malam itu sudah mulai luntur pengaruhnya. Dia memberanikan diri pergi ke toko buku. Dipindainya rak-rak buku di semua toko buku di kota Bandung. Kenapa bukunya Vantaa blum muncul ya? Empat.. lima.. enam bulan. Selama itu juga, Cokro gak pernah setor wajah buat bimbingan skripsi. Dia sudah berniat mengganti judul TA sekaligus pembimbingnya. Kalo bisa ganti jurusan, atau kalo' mungkin ganti hidup.

Siang, di tempat parkir belakang. Cokro ngeliat Vantaa lagi ngarahin kameranya ke atas, entah motret apa. Meskipun masih trauma, dia mberaniin diri nanya.

"Nda.. buku lo belom luncur?"

"Nggak jadi."

"Hah.. APA?"

"Tiba-tiba gue gak mood. Gue lagi ada proyek baru. Moto awan. Eh, tau gak awan itu bentuknya macem-macem lho...."

"MUKELO MACEM-MACEM! YANG BENER LO..." kali ini Cokro jadi premannya.

"GILA!!!! LO DAH BIKIN GUE DATENG KE TEMPAT YANG SEUMUR HIDUP BIKIN GUE TRAUMA.. TAPI SEMUA ITU PERCUMA AJA KARENA LO SEKARANG LEBIH TERTARIK MOTRET AWAN SIALAN ITU??!"

Dengan cueknya Vantaa bilang, "Sori deh.. bukannya lo juga suka.."

"GAK ADA SORI-SORIAN.. POKOKNYA LO HARUS TERBITIN TUH BUKU! TIAP MALEM GUE MIMPI DIKEJAR-KEJAR SEMPAK (celana dalem-red), PALING GA BISA DENGER MUSIK HOUSE-MIX, BERHARI-HARI GUE IKUT TERAPI PSIKOLOGI DAN HARUS GANTI T.A. CUMA KARENA DATENG KE TU TEMPAT STREAPTEASE-COWOK TERKUTUK! .. SKALI LAGI GUE BILANG, GUE BUKAN GAY!" ..AY..AY..AY suara Cokro menggema di penjuru langit. Wajahnya memerah. Dia sadar, banyak mata yang sedang menatap takjub ke arah mereka. Dia tahu, yang dibutuhkannya sekarang adalah menghilang selama mungkin dari kampus atau pergi ke warung Kang Udjo, beli racun tikus, trus pulang dan bikin surat wasiat.

Cokro menatap sekali lagi ke arah Vantaa, yang dibales dengan tatapan memelas. Wajahnya merah. Cokro berjalan ke arah pintu gerbang, berjalan tegap, menarik satu nafas dalam-dalam, dadanya dibusungkan sambil melangkah seolah gak terjadi apa-apa sambil bergumam-gumam kecil..."kang Udjo.. kang Udjo.. kang Udjo.. ... ...."


[Terinspirasi temen gw yang suatu hari mengutarakan niatnya bikin buku. Mending lo bikin kue aja deh...]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home