Korek Api

Sunday, March 26, 2006

Aroma

Kalimatnya hampir seperti puisi.

"... ia selalu bisa mengikat rasa. Ia tak pernah salah menakar garam dan lada."

Lelaki itu berdiri gemetar. Saya yakin dia tak sedang gugup karena ini bukan kali pertama baginya berbicara di depan orang banyak. Toh, yang datang adalah keluarga.

"... Saya teringat suatu saat, di sepenggalan malam. Ia muncul entah dari mana memberiku kecupan dan menyapa. Ia bertanya apa yang sedang aku baca.

"'Tolstoy', aku bilang. Matanya dan mataku bertemu. 'Kenapa ayah selalu membaca buku-buku tebal dan membosankan,' katanya."


Aku kenal lelaki itu. Dia masih kerabat jauh istriku. Ia biasa dipanggil Oom Reuben. Empat puluh tujuh tahun. Istrinya, Martha, duduk di baris depan. Tak banyak yang aku tahu tentang mereka berdua. Yang aku tahu mereka punya dua putra: Hugo dan Javier.

"Setelah itu, ia memintaku berhenti dulu dan menatap dalam-dalam mataku. 'Aku tidak bisa, Pa.' Aku mencoba menarik semua memoriku, mencoba mengerti apa yang sedang ia coba sampaikan. 'Aku tidak bisa menikahi Dara.' Aku mengerti, tapi aku tidak mau mengerti."

Dara. Ya. Aku kenal gadis itu. Hugo pernah mengenalkanku sekitar tiga bulan yang lalu. Kami tanpa sengaja bertemu di sebuah rumah makan. Aku dan istriku hendak pergi. Kami berpapasan dengan mereka di dekat pintu keluar. Aku ingat mata coklat Dara. Sangat binar. Tapi tidak Hugo.

"'Hugo, kau tau khan mengapa pernikahan ini harus terjadi? Apa Papa harus ulangi?' aku berkeras hati.

"'Hugo tidak ingin seperti ini, Pa. Papa tahu, Hugo tak ingin menjadi durhaka, tapi Hugo tidak punya cinta untuk Dara. Hugo sudah punya wanita,' dia mewarisi keras kepalaku dan kelembutan hati Martha. Ia tak pernah tega menyakiti hatiku.

"Saat itu aku menduga, ia sedang mempermainkanku. Ia tak punya wanita, kukira.. Ia hanya sedang mencoba membuat alasan untuk tak menurutiku."


Aku tahu 'wanita' yang dimaksud Hugo. Itu sebabnya aku kaget ketika bertemu mereka berdua di rumah makan itu, karena aku kenal dengan Yarra lebih dulu. Yarra adalah 'si wanita'.

"Kamipun beradu kata.. atau mungkin lebih tepat disebut beradu ego. Siapa yang menguasai siapa.. siapa yang takluk, siapa yang jawara. Seperti biasa, malam itu tak ada simpul yang mempertemukan kami. Ia lalu pergi."

Hugo pergi ke rumahku. Ia mengetuk pintu pukul satu, setelah sebelumnya mengabariku lewat telepon. Matanya sembab, matanya kuyu. Dia bilang, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Oom Reuben terlalu keras kepala.

Sudah lama aku tahu, Hugo adalah hadiah Reuben pada Sena sepupunya. Reuben punya hutang-budi pada ayah Sena. Ia membiarkannya menumpang dirumah dan menyekolahkannya hingga sarjana. Oom Reuben tak pernah alpa bahwa anaknya dan anak Sena--jika sepasang--akan dijodohkan. Mungkin banyak orang akan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Ya, di jaman serba digital yang mengagungkan individualitas, masih ada Siti Nurbaya.

"Aku tak tahu ke mana Hugo pergi... sampai sebulan lalu aku mendapat kabar tentangnya dari..."

Dari aku. Aku menelpon Oom Reuben sore itu dari kantor.

Beberapa menit sebelumnya, Hugo menghubungiku. Dia terdengar sangat gelisah. Dia meracau tentang Yarra, tentang dirinya, tentang Dara dan papanya. Aku kemudian tahu, ia sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Beberapa kali aku dengar Hugo memukul-mukul klakson mobilnya. Lalu, aku memintanya untuk tenang dan menepi.

Aku segera pergi menemuinya dan mengantarnya ke Bandung. Kami berbicara selama sisa perjalan.

"Hugo masih kembali sebulan sekali pada akhir pekan. Ia menjadi pendiam dan tak pernah lagi mengajakku berdebat tentang berita-berita di koran.. tentang kebijakan pemerintah yang berat sebelah, tentang orang-orang dungu yang membunuh dirinya dan beberapa orang lain demi ideologi.

"Aku masih ingat Hugo kecil yang selalu bilang bahwa dia ingin menjadi arsitek sepertiku. Tapi, tak sepertiku, ia juga pandai meracik rasa."


Oom Ruben menitikkan air mata. Agak janggal rasanya melihat lelaki setegar dia menangis. Caranya menangis mengingatkanku pada Hugo.

"'Sembilan puluh persen rasa,' Hugo pernah bilang padaku, 'datang dari aroma.'"

Aku masih bisa membaui aroma itu. Aku tak pernah suka aroma kimia yang selalu tercium di rumah-rumah sakit. Tapi aroma yang aku hirup saat itu tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan aroma obat kimia manapun.

Tak ada yang bisa memilih ke mana aliran sungai kehidupan akan membawa seseorang. Aroma duka begitu kuat menusuk hidungku: campuran antara bau daging hangus dan macam-macam lagi yang rasanya membuat isi perutku teraduk.

Jasad Hugo ditemukan dalam bak mandi. Kemarin pagi rumah kontrakannya terbakar habis. Sepertinya ia tak sempat keluar melarikan diri, dan pikirnya, air di dalam bak bisa melindungi. Aku tak bisa lagi mengenali tubuh Hugo yang bagai arang. Aku lalu membawa tubuhnya pulang.

"Kata orang, sesal selalu datang di belakang.. Aku menyesal tak sempat bertanya padanya tentang cinta yang dia rasa.. tentang wanita yang dia puja..."

Yarra yang juga datang ke acara pemakaman ini duduk tak jauh dariku menatap kosong ke depan.

"Aku merasa sebagai ayah terburuk di dunia yang terlalu keras kepala. Biarlah aku yang kini hidup menanggung duka. Yang pasti, aku akan merindukan aroma masakan-masakan yang selalu dibuatnya dengan sempurna."

Aku menatap wajah istriku sambil tersenyum. Lalu kutaruh tanganku di atas perutnya yang mulai membuncit. "Aku mencintaimu." Dia bilang, "Aku tahu." Lima bulan lagi anak pertama kami akan lahir. "Dan, aku akan selalu mencintainya."


buat seorang teman yang sedang bimbang tentang cinta
10.51 malam

0 Comments:

Post a Comment

<< Home