Korek Api

Monday, January 23, 2006

shredsketches (1)

Yarra menutup harinya, malam itu, dengan kepala yang penat.

"Gue duluan ya, Ra'," Dian menyentuh pundaknya. "Inget.. apa yang gue bilang tadi. Oke!" Yarra melihat ke bayangan Dian di cermin sambil tersenyum berat. Mata mereka saling sapa.

Yarra mengangguk kecil: mengiyakan, tapi ragu.

"Kita ketemu besok pagi ya.. Bye." Dian menghilang di balik pintu.

Malam ini, dia sedang tak ingin bicara. Yarra menatap sosok letih di cermin. Make-up tebal itu mencekik jiwanya. Ia capek menjadi cantik.

***

"Cobalah untuk relaks... makin rileks, makin dalam kau bisa masuk ke dalam bawah sadarmu..."

"Bayangkan kau berada di pantai. Bunyi camar itu... rasakan... rileks...
Kau bisa merasakan buih ombak menyentuh ujung kaki mu...
rasakan tapak kakimu di atas butir-butir pasir yang basah..
Rasakan hangatnya matahari. Tidak panas. Suhunya pas... santai...
Hirup aroma laut. Bau garam bercampur lembap di udara...
Angin basah menyentuh kulit wajahmu, pelan, lembut...
Lihat di langit biru membentang luas... Rilekss... Santaii..."

Graha bisa membayangkan pantainya. Di sana sepi. Dia hanya melihat dirinya sendiri. Di sana ia bisa lari dari hidupnya, juga dari masa lalunya. Tapi, malam ini bukan gilirannya. Graha masih harus ada di ruang praktiknya. Karena bukan dia yang duduk di kursi itu, tapi Claudia, pasiennya.

***

Dia menghela nafas. Terasa berat, tak tahu kenapa. Padahal malam ini ia hanya mengisi dadanya dengan asap. Asap yang seharusnya bisa melunturkan gelisahnya. Asap yang harganya ratusan ribu. Mahal, tapi ia butuh itu.

Mereka tidak tahu ini. Buat mereka aku adalah malaikat.
Mereka tak boleh tahu, bahwa sebenarnya, aku tidak punya sayap.


Bunga-bunga mulai bermekaran di dalam dadanya, juga di kepalanya. Ah, akhirnya.. malaikat pulang ke surga.

Aku juga punya surga kecil di sini, di bumi, yang kami namai ia keluarga,
Tempat kami berkumpul, bersembunyi dari dunia yang kejam,
Di sini, di surga ku ini, tak ku biarkan setitikpun noda,
Ku pastikan sepatu dan sandal pada raknya,
Baju dan kemeja licin tersetrika, juga wangi, tersusun rapi dalam almari
Tidak... mereka tak boleh tahu, tak ada sayap tumbuh di punggungku,
Tidak anak-anakku, tidak juga suamiku.

Hanya malam ini, Nak, ibumu terbang pulang ke surga
dengan asap-asap yang membumbung tinggi,
tapi, ibu akan kembali, sebelum kalian terbangun besok pagi...


Sandrine sudah lupa, ingin jadi apa dia waktu kecil.

***

Krriiiiing... kriiiiiiing... kriiiiiiing...

"Halo.."

"Ma? Ada apa... ...Ma... tapi ini khan jam dua pagi." jawab Laks enggan tapi tetap tenang. Harusnya dia sudah siap dengan ini. Laks menghela nafas. Ia mengusap dahi dan matanya.

"...Udah Ma, jangan nangis dong... Lebih baik Mama istirahat aja sekarang."

Laks tahu, ia anak satu-satunya. Kemana lagi Mamanya akan mengadu. Laki-laki yang dulu pernah jadi suaminya, jam segini pasti sedang tidur di samping istri barunya yang masih muda dan sital itu. Tapi Mama... dia masih harus mencari sendiri teman tidurnya di keremangan kehidupan malam. Malam itu, Mamanya sedang tidak beruntung.

"Laks yakin Mama bisa nemuin laki-laki lain yang bisa mencintai Mama. Tapi, Mama sekarang tidur dulu ya..."

Laks tahu mamanya butuh cinta. Seperti juga dia.

Telepon ditutup. Laks kembali ke mejanya. Ia harus menyiapkan presentasinya besok pagi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home