Pertanyaan
Aku masih ingat, dosen Penggerak Mula ku dulu pernah bilang di depan kelas suatu hari. Dia mengajukan satu pertanyaan sederhana, "Jika suatu saat kendaraan yang Anda kendarai tiba-tiba mogok di jalan. Apa yang pertama kali akan Anda lakukan?"
Dosen itu masih muda. Mungkin karena itulah caranya menyampaikan materi kuliah begitu relaks dan akrab dengan keseharian. "Apa kalian akan menelpon bengkel Anda, atau mungkin ayah, pacar, teman? Atau langsung saja 'mengoperasi' kendaraan Anda di tempat kejadian? Atau.. apa," beliau memancing antusiasme kami. Aku masih ingat senyuman di bibirnya.
Pertanyaan itu bisa dijawab apa saja. Tapi, karena kami duduk di sana sebagai mahasiswa yang seharusnya punya pengetahuan dan akal yang lebih efektif dan efisien, dan karena tempat kami kuliah adalah sebuah kampus yang telah divonis unggul, dan karena kami telah dibiasakan untuk mengerjakan soal-soal sulit hingga selalu curiga pada pertanyaan sederhana.. maka kami pun diam (dan pura-pura berpikir mencari solusi).
Sang dosen ternyata bisa menangkap pikiran kami, "Kita sering berpikir terlalu rumit. Sederhana saja. Yang harus dilakukan pertama kali adalah memeriksa: apakah kita sedang kehabisan bensin?!"
-Aha! Momen pencerahan!-
Melihat supir angkot itu berlari kencang menjauh dari kendaraan reot ini di pinggir jalan, membuat ku berpikir: seharusnya dia yang duduk di kelas Penggerak Mula waktu itu. Dia pasti bisa menjawab pertanyaan sederhana tadi.
Tidak sampai dua menit kemudian supir angkot itu kembali, membawa sebuah dirijen minyak tiga per empat penuh yang berisi bensin dan sebuah selang yang ujungnya disambungkan ke sebuah botol aqua besar yang telah dipotong menjadi sebuah corong.
Siang itu panas dan aku mulai berkeringat dalam sweater biru tua ku, menunggu supir angkot beraksi, 'menghidupkan' kembali angkot tuanya yang mulai enggan diajak jalan lagi. Angkot itu benar-benar sesak. Semua orang duduk saling berhimpit, diam, dan menatap jauh entah sedang berpikir apa. Aku dan Nia juga. Kami tak lagi mesra di dalam angkot.
Biasanya kami tidak begitu. Sejak 'jadian' tujuh bulan, dua puluh tiga hari, dan empat jam yang lalu, kami selalu membuat orang-orang di dalam angkot (di segala jurusan di kota Bandung) yang kami tumpangi iri atau setidaknya berdecak sambil berpikir mencibir, "Get a room!" atau "KUA ada di depan, belok kiri, rumah ke tujuh dari pertigaan."
Tangan kami tak sedang saling bertaut siang itu seperti biasanya. Kepalanya tidak sedang bermanja-manja di pundakku. Bibirnya tak juga sedang membasahi kulit pipi dan--kadang-kadang juga--bibirku. Dia diam saja. Tubuhnya tak juga condong ke tubuhku. Bukan gerahnya efek rumah kaca di dalam angkot itu yang membuat hubunganku dan Nia memuai lalu meleleh kehilangan bentuknya. Jangan tanya aku apa sebabnya. Ternyata, aku tak juga mengerti pikiran wanita. Dan, Nia adalah seorang wanita sempurna di mataku yang misterinya juga paripurna.
Semua teman yang ku ceritakan tentang hubungan spesial nan 'hot' antara aku dan Nia selalu bereaksi sama: "Tidak percaya!" Maklum, Nia adalah selebritis kampus yang punya penggemar di setiap sudut jurusan bahkan hingga ke mancakampus. Sedangkan aku? Aku cuma mahasiswa pencinta sains biasa yang bahkan belum pernah dipacari bahkan untuk alasan kasihan sekalipun. Aku dan Nia bukan hanya seperti bumi dan langit, tapi sudah lebih mirip neraka dan surga. Aku, neraka kering yang tidak pernah dibesuk bidadari surga yang terlalu sibuk dikejar-kejar Arjuna.
Namun, seperti penemuan para pujangga fisika modern, jagat ini tak hanya disusun oleh 1 dan 0 atau baik dan buruk atau ada dan tiada, tapi juga sekaligus adalah senggama keduanya. Dan, begitulah suratan kehidupan: neraka punya kesempatan memeluk surga dan lahirlah dunia.
Pertama kalinya kami bertemu--atau lebih tepatnya: dia menyadari keberadaanku--di sebuah toko serba ada di dekat rumah. Hari itu aku baru tahu bahwa RT Nia dan aku ternyata masih bersebelahan. Bahkan, kos-kosan kami masih bisa ditempuh pulang-pergi dua kali berjalan kaki santai dalam waktu yang tidak lebih dari tiga puluh menit.
Sebenarnya, dari segi fisik, aku sedang tidak siap bertemu-muka waktu itu dengan 'sang bidadari' yang telah begitu berbaik hati turun ke bumi dan berbelanja di Alfamart. Sayangnya (atau seharusnya aku bilang: untungnya) sang bidadari lupa membawa dompet.
Meskipun dengan rambut kusut mengembang, mata masih sipit dan sembab, juga bekas lipatan kulit khas orang yang baru bangun tidur masih nampak jelas dan makin memperburuk penampilan, aku tidak lupa membawa dompet dan (beruntung) punya uang lebih. Sehingga, sang bidadari tak harus kehilangan cerah auranya karena malu. Aku memperkenalkan diri sebagai teman sekampusnya dan bersedia meminjaminya uang. Untung dia tidak sedang belanja bulanan hari itu. Dia hanya beli dua bungkus pembalut dan dua permen lolipop rasa stroberi.
Sebenarnya aku bukan penggemar glukosa atau sukrosa apalagi fruktosa, tapi pagi itu tak terasa satu permen lolipop rasa stroberi telah lumer di mulutku. Aku yang memaksanya membiarkanku membawakan belanjaannya dan mengantarnya hingga ke depan kos-kosannya. Kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit khas perumahan Bandung; melewati RW 07, satu lapangan, dua rumah, satu tempat fotokopi, tiga rumah, kelurahan, dan kami berhenti di depan plang bertuliskan: 'Kos Putri' dan 'Arra Laundry'. Di sanalah, Nia selama ini tinggal. Inilah khayangannya.
Mungkin hubungan kami sama seperti angkot yang sedang kami tumpangi ini: mogok. Dan itu terjadi tiba-tiba. Bukan karena dia memergokiku bercumbu mesra dengan wanita lain, karena aku tidak pernah (punya kesempatan) melakukan itu. Bukan juga karena ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kami. Bukan juga karena aku alpa memberinya bunga dan puisi cinta setiap minggunya, karena aku selalu memastikan tak abai mengiriminya. Bukan juga karena aku menyisihkan dia di antara kesibukanku menyusun skripsi. Tidak, bukan itu, karena aku lebih banyak bersamanya bahkan apabila dibandingkan dengan total waktu bimbinganku, membaca buku referensi di perpustakaan, mengetik di depan komputer, dan melakukan percobaan di lab.
Mungkin kami sedang kehabisan bahan bakar. Tak ada cukup hidrokarbon yang dibakar untuk mengasilkan energi untuk menggerakkan piston-piston dalam 'mesin' hubungan kami. Tapi, isi kepala dan perasaan wanita pasti jauh lebih kompleks daripada mesin karatan angkot tua ini. Tak ada pom-bensin yang menjual amorum untuk menggerakkan kembali kisah kasih kami. Paling-paling, mereka hanya menjual solar dan premium dan pertamax yang belakangan harganya semakin merangkak naik.
Aku menyerah. Aku menyerah pada diammu. Aku lelah mencari-cari, menguji teori, menganalisis, mensimulasikan hubungan kita, mencoba menemukan apa yang salah. Aku bosan selalu mengikuti pasang surut emosimu yang menurutku jauh lebih dahsyat dari ombak pantai selatan. Aku tidak bisa lagi mengikuti permainanmu yang sama sekali tidak ada aturannya, tidak ada yang bisa dipakai untuk menjustifikasi jika ada pelanggaran. Aku selalu mengalah, walaupun kamu sudah terlalu offside dalam hidupku.
Aku rela ketika kamu melarangku menemui--bahkan--mengontakmu saat kamu bilang sedang ingin bersama teman-temanmu. Saat kamu sedang tidak membutuhkanku. Aku tidak bertanya mengapa, ketika kamu melarangku bertemu orangtuamu ketika mereka datang. Aku juga tidak marah ketika aku melihatmu jalan berdua dengan laki-laki yang kamu bilang hanya teman biasa saja, walaupun dalam sms-mu kamu bilang sedang belajar kelompok dengan Gadis dan Emma, sahabatmu... Sampai, tanpa sengaja, kita bertemu dalam angkot siang ini. Dan, kamu duduk di situ di hadapanku, tak berdaya karena terjepit, tak sudi menatapku.
Aku tahu, kamu ingin menghambur lari keluar dari angkot ini jika saja tak ada yang menghalangi. Aku tahu, keringat di keningmu itu bukan karena panas semata. Aku tahu, kamu membenci takdir yang mempertemukan kita kembali di sini. Takdir yang membuat supir itu lupa mengisi tangki bensin angkotnya. Aku tahu, kamu telah memutuskan hubungan kita dua minggu yang lalu, bahkan tanpa aku perlu menunggu kata-kata vonis darimu. Yang aku tidak tahu, mengapa kamu (mengatakan kamu) mencintaiku dan tak juga menjelaskan apa salahku atau apa maumu.
Aku yakin, pertanyaan seperti ini tidak akan pernah ditanyakan di dalam ruangan kuliah mana pun khususnya yang membahas tentang mesin. Tidak juga dosen Penggerak Mula ku itu tahu jawabannya. Tidak supir angkot, tidak juga kasir Alfamart, mungkin juga dia sendiri tidak tahu.
suatu siang yang panas,
di dalam angkot penuh sesak yang kehabisan bensin
7 Maret 2006
Dosen itu masih muda. Mungkin karena itulah caranya menyampaikan materi kuliah begitu relaks dan akrab dengan keseharian. "Apa kalian akan menelpon bengkel Anda, atau mungkin ayah, pacar, teman? Atau langsung saja 'mengoperasi' kendaraan Anda di tempat kejadian? Atau.. apa," beliau memancing antusiasme kami. Aku masih ingat senyuman di bibirnya.
Pertanyaan itu bisa dijawab apa saja. Tapi, karena kami duduk di sana sebagai mahasiswa yang seharusnya punya pengetahuan dan akal yang lebih efektif dan efisien, dan karena tempat kami kuliah adalah sebuah kampus yang telah divonis unggul, dan karena kami telah dibiasakan untuk mengerjakan soal-soal sulit hingga selalu curiga pada pertanyaan sederhana.. maka kami pun diam (dan pura-pura berpikir mencari solusi).
Sang dosen ternyata bisa menangkap pikiran kami, "Kita sering berpikir terlalu rumit. Sederhana saja. Yang harus dilakukan pertama kali adalah memeriksa: apakah kita sedang kehabisan bensin?!"
-Aha! Momen pencerahan!-
Melihat supir angkot itu berlari kencang menjauh dari kendaraan reot ini di pinggir jalan, membuat ku berpikir: seharusnya dia yang duduk di kelas Penggerak Mula waktu itu. Dia pasti bisa menjawab pertanyaan sederhana tadi.
Tidak sampai dua menit kemudian supir angkot itu kembali, membawa sebuah dirijen minyak tiga per empat penuh yang berisi bensin dan sebuah selang yang ujungnya disambungkan ke sebuah botol aqua besar yang telah dipotong menjadi sebuah corong.
Siang itu panas dan aku mulai berkeringat dalam sweater biru tua ku, menunggu supir angkot beraksi, 'menghidupkan' kembali angkot tuanya yang mulai enggan diajak jalan lagi. Angkot itu benar-benar sesak. Semua orang duduk saling berhimpit, diam, dan menatap jauh entah sedang berpikir apa. Aku dan Nia juga. Kami tak lagi mesra di dalam angkot.
Biasanya kami tidak begitu. Sejak 'jadian' tujuh bulan, dua puluh tiga hari, dan empat jam yang lalu, kami selalu membuat orang-orang di dalam angkot (di segala jurusan di kota Bandung) yang kami tumpangi iri atau setidaknya berdecak sambil berpikir mencibir, "Get a room!" atau "KUA ada di depan, belok kiri, rumah ke tujuh dari pertigaan."
Tangan kami tak sedang saling bertaut siang itu seperti biasanya. Kepalanya tidak sedang bermanja-manja di pundakku. Bibirnya tak juga sedang membasahi kulit pipi dan--kadang-kadang juga--bibirku. Dia diam saja. Tubuhnya tak juga condong ke tubuhku. Bukan gerahnya efek rumah kaca di dalam angkot itu yang membuat hubunganku dan Nia memuai lalu meleleh kehilangan bentuknya. Jangan tanya aku apa sebabnya. Ternyata, aku tak juga mengerti pikiran wanita. Dan, Nia adalah seorang wanita sempurna di mataku yang misterinya juga paripurna.
Semua teman yang ku ceritakan tentang hubungan spesial nan 'hot' antara aku dan Nia selalu bereaksi sama: "Tidak percaya!" Maklum, Nia adalah selebritis kampus yang punya penggemar di setiap sudut jurusan bahkan hingga ke mancakampus. Sedangkan aku? Aku cuma mahasiswa pencinta sains biasa yang bahkan belum pernah dipacari bahkan untuk alasan kasihan sekalipun. Aku dan Nia bukan hanya seperti bumi dan langit, tapi sudah lebih mirip neraka dan surga. Aku, neraka kering yang tidak pernah dibesuk bidadari surga yang terlalu sibuk dikejar-kejar Arjuna.
Namun, seperti penemuan para pujangga fisika modern, jagat ini tak hanya disusun oleh 1 dan 0 atau baik dan buruk atau ada dan tiada, tapi juga sekaligus adalah senggama keduanya. Dan, begitulah suratan kehidupan: neraka punya kesempatan memeluk surga dan lahirlah dunia.
Pertama kalinya kami bertemu--atau lebih tepatnya: dia menyadari keberadaanku--di sebuah toko serba ada di dekat rumah. Hari itu aku baru tahu bahwa RT Nia dan aku ternyata masih bersebelahan. Bahkan, kos-kosan kami masih bisa ditempuh pulang-pergi dua kali berjalan kaki santai dalam waktu yang tidak lebih dari tiga puluh menit.
Sebenarnya, dari segi fisik, aku sedang tidak siap bertemu-muka waktu itu dengan 'sang bidadari' yang telah begitu berbaik hati turun ke bumi dan berbelanja di Alfamart. Sayangnya (atau seharusnya aku bilang: untungnya) sang bidadari lupa membawa dompet.
Meskipun dengan rambut kusut mengembang, mata masih sipit dan sembab, juga bekas lipatan kulit khas orang yang baru bangun tidur masih nampak jelas dan makin memperburuk penampilan, aku tidak lupa membawa dompet dan (beruntung) punya uang lebih. Sehingga, sang bidadari tak harus kehilangan cerah auranya karena malu. Aku memperkenalkan diri sebagai teman sekampusnya dan bersedia meminjaminya uang. Untung dia tidak sedang belanja bulanan hari itu. Dia hanya beli dua bungkus pembalut dan dua permen lolipop rasa stroberi.
Sebenarnya aku bukan penggemar glukosa atau sukrosa apalagi fruktosa, tapi pagi itu tak terasa satu permen lolipop rasa stroberi telah lumer di mulutku. Aku yang memaksanya membiarkanku membawakan belanjaannya dan mengantarnya hingga ke depan kos-kosannya. Kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit khas perumahan Bandung; melewati RW 07, satu lapangan, dua rumah, satu tempat fotokopi, tiga rumah, kelurahan, dan kami berhenti di depan plang bertuliskan: 'Kos Putri' dan 'Arra Laundry'. Di sanalah, Nia selama ini tinggal. Inilah khayangannya.
Mungkin hubungan kami sama seperti angkot yang sedang kami tumpangi ini: mogok. Dan itu terjadi tiba-tiba. Bukan karena dia memergokiku bercumbu mesra dengan wanita lain, karena aku tidak pernah (punya kesempatan) melakukan itu. Bukan juga karena ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kami. Bukan juga karena aku alpa memberinya bunga dan puisi cinta setiap minggunya, karena aku selalu memastikan tak abai mengiriminya. Bukan juga karena aku menyisihkan dia di antara kesibukanku menyusun skripsi. Tidak, bukan itu, karena aku lebih banyak bersamanya bahkan apabila dibandingkan dengan total waktu bimbinganku, membaca buku referensi di perpustakaan, mengetik di depan komputer, dan melakukan percobaan di lab.
Mungkin kami sedang kehabisan bahan bakar. Tak ada cukup hidrokarbon yang dibakar untuk mengasilkan energi untuk menggerakkan piston-piston dalam 'mesin' hubungan kami. Tapi, isi kepala dan perasaan wanita pasti jauh lebih kompleks daripada mesin karatan angkot tua ini. Tak ada pom-bensin yang menjual amorum untuk menggerakkan kembali kisah kasih kami. Paling-paling, mereka hanya menjual solar dan premium dan pertamax yang belakangan harganya semakin merangkak naik.
Aku menyerah. Aku menyerah pada diammu. Aku lelah mencari-cari, menguji teori, menganalisis, mensimulasikan hubungan kita, mencoba menemukan apa yang salah. Aku bosan selalu mengikuti pasang surut emosimu yang menurutku jauh lebih dahsyat dari ombak pantai selatan. Aku tidak bisa lagi mengikuti permainanmu yang sama sekali tidak ada aturannya, tidak ada yang bisa dipakai untuk menjustifikasi jika ada pelanggaran. Aku selalu mengalah, walaupun kamu sudah terlalu offside dalam hidupku.
Aku rela ketika kamu melarangku menemui--bahkan--mengontakmu saat kamu bilang sedang ingin bersama teman-temanmu. Saat kamu sedang tidak membutuhkanku. Aku tidak bertanya mengapa, ketika kamu melarangku bertemu orangtuamu ketika mereka datang. Aku juga tidak marah ketika aku melihatmu jalan berdua dengan laki-laki yang kamu bilang hanya teman biasa saja, walaupun dalam sms-mu kamu bilang sedang belajar kelompok dengan Gadis dan Emma, sahabatmu... Sampai, tanpa sengaja, kita bertemu dalam angkot siang ini. Dan, kamu duduk di situ di hadapanku, tak berdaya karena terjepit, tak sudi menatapku.
Aku tahu, kamu ingin menghambur lari keluar dari angkot ini jika saja tak ada yang menghalangi. Aku tahu, keringat di keningmu itu bukan karena panas semata. Aku tahu, kamu membenci takdir yang mempertemukan kita kembali di sini. Takdir yang membuat supir itu lupa mengisi tangki bensin angkotnya. Aku tahu, kamu telah memutuskan hubungan kita dua minggu yang lalu, bahkan tanpa aku perlu menunggu kata-kata vonis darimu. Yang aku tidak tahu, mengapa kamu (mengatakan kamu) mencintaiku dan tak juga menjelaskan apa salahku atau apa maumu.
Aku yakin, pertanyaan seperti ini tidak akan pernah ditanyakan di dalam ruangan kuliah mana pun khususnya yang membahas tentang mesin. Tidak juga dosen Penggerak Mula ku itu tahu jawabannya. Tidak supir angkot, tidak juga kasir Alfamart, mungkin juga dia sendiri tidak tahu.
suatu siang yang panas,
di dalam angkot penuh sesak yang kehabisan bensin
7 Maret 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home