The Chronicle of Taman Hewan:
Sang Pemburu, Badak, dan Irex Tiga Dus
"Everything is gonna be all right."
Gue masih belum percaya dengan apa yang barusan dia bilang. Apanya yang 'all right'?
Jaja namanya. Lelaki yang sering mengaku sejati itu mengeluarkan binocular dari dalam tas. Jaja sudah gila. Kalau dia saja disebut gila, lalu apa namanya orang yang merelakan waktu paling berharganya untuk pergi bersama orang gila (baca: Jaja) dan melakukan hal yang tidak pasti kegunaannya. Padahal besok gue sudah diagendakan punya dua ujian dan gue sama sekali belum belajar. "Mana pagi-pagi, lagi!" Apalagi gue nggak biasa begadang!
"Udah belum sih, Ja'?"
"Bentar lagi deh, Dak."
Ya, kenalkan. Nama asli gue Pranata Wangsa. Lihat: tidak ada kata 'Dak'-nya sama sekali khan? Hanya orang gila itu saja yang memanggil gue 'Badak' cuma karena badan gue yang relatif lebar. Dan herannya, gue juga tidak menolak apalagi berontak. Mungkin karena alasan yang sama, badak di jawa punah perlahan: karena terlalu mengalah pada manusia.
"Aduh.. lo berat banget sih?"
Tapi sebenarnya, ada yang lebih berat dari tubuh Jaja, yang membuat gue lebih-lebih lagi berkeberatan: Jaja sudah berdiri di pundak gue selama paling tidak lima menit dan sudah dua kali dia kentut. Sumpah, bau timbunan sampah di depan kampus ditambah aroma dua bangkai kuda nil plus lima bunga bangkai mekar dalam waktu bersamaan saja mungkin baru bisa menandingi bau kentutnya!
"Bentar.. bentar lagi juga dia keluar."
Perkenalkan. Orang yang sedang dimata-matai Jaja adalah seorang wanita. Lumayan, tapi menurut gue sih tidak secantik yang diceritakan Jaja. Anak kampus sebelah. Namanya Laras. Jaja tergila-gila pada Laras. Jaja yakin, Laras diciptakan ke dunia untuknya. Sudah seminggu ini Jaja berkenalan dengan Laras. Dan, siang itu, Jaja berencana 'menembak' Laras, dengan cara paling romantis yang pernah ada di muka bumi. Bumi versi Jaja tentunya.
Mari kita review bersama 'bumi' sang romeo dari Kediri ini dan menelaah definisinya tentang romantisme. Jaja pernah mengirim sebuah surat cinta kepada seorang perempuan sewaktu kami masih di SMA. Romantis? Tunggu sampai gue selesaikan cerita ini. Dalam 'surat cintanya' itu, Jaja memang tidak banyak bicara. "Cinta itu tegas, straight to the point!" Jadi di surat itu Jaja praktis hanya menggunakan tidak lebih dari tiga belas kata saja: "Nana, I Love U. Plis jadi pacarku, atau aku mati saja!"
"Ini sih bukan surat, Ja'." Soalnya, di dalam pikiran gue, surat adalah serangkaian kata yang jauh lebih banyak dari itu. Di dalamnya ada basa-basi menanyakan kabar. Di dalam surat juga ada bagian isi dan penutup. Ada nama penulisnya, lalu tanda tangan. Dan semua itu ditulis dengan tinta pena. Hal yang paling membuat gue ogah menyebut surat itu dengan embel-embel cinta karena: "Ja', lo bener-bener nulis ini pake darah lo?!"
Efek dramatis. Itu katanya menjelaskan alasannya menulis surat dengan darah. "Ini sih bukan dramatis. Ini lebih mirip surat teror daripada surat cinta." Tapi, apalah daya ketika sang badak telah ditangkap sang pemburu-cinta berkulit gelap berambut ombak bernama Jaja Jangkaru. Hari itu, kami berdua berakhir di ruang BP untuk menjelaskan si 'surat cinta' berdarah di depan Pak Kosim dan kumis lebatnya.
"Dak, Laras udah keluar, Dak!" Kata Jaja sambil sedikit melompat-lompat girang.
"Woy... yang boneng lo... jangan loncat-loncat.. berat nih."
Lalu kami berdua pun dengan sukses roboh bersamaan yang diikuti bunyi debum keras dan mantap.
"Ayo, cepetan...," Jaja langsung bangun. Tangan ku yang masih kebas ditariknya. Kamipun berlari di lorong-lorong sempit Taman Hewan menuju tempat kejadian perkara. Tidak lupa, Jaja membunyikan peluitnya tiga kali sebagai tanda. Perasaan gue jadi tidak enak. Gue khawatir Jaja melakukan akan melakukan sesyuatu yang sama sekali tidak 'all right'.
(Oh iya, buat pembaca yang tidak familier dengan nama-nama daerah di kota Bandung, Taman Hewan bukanlah nama lain dari kebun binatang atau istilah kerennya 'zoo'. Tapi, adalah nama kawasan dengan banyak sekali kos-kosan dekat kampus sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung..hahaha..nyombong dikit boleh donk.)
Biar gue jelaskan secara ringkas dan jelas apa yang Jaja rencanakan hari ini. Pada prinsipnya, Jaja akan berusaha membuat Laras pergi menuju ke sebuah lapangan kecil di ujung salah satu jalan (lebih tepat disebut gang) Taman Hewan. Di lapangan itu (tempat kejadian perkara), Jaja berencana akan 'menembak' Laras.
Trus, bagaimana caranya Laras bisa digiring ke sana? Pertama, Jaja memastikan bahwa siang itu Laras tidak ada kuliah atau janji pergi dengan temannya. Jaja juga sudah sekongkol dengan Rani, teman satu kos Laras. Rani pura-pura minta diantarkan ke Warnet Garbul di dekat lapangan dengan alasan meminta Laras mengajarinya membuat Blog. Maklum, Blog sedang jadi tren.
Di sepanjang jalan. Jaja (dan unfortunately gue juga terpaksa terlibat) sudah menyiapkan aneka hiasan berbentuk otak manusia berwarna pink dengan nama Laras di tengahnya. Ya, otak. Bukan, hati seperti biasa. Soalnya, menurut majalah National Geographic Indonesia edisi Februari yang dibaca Jaja, cinta itu datangnya dari kerja otak dan sama sekali tidak ada urusannya dengan hati (liver, yang bentuknya tidak mirip dengan yang biasa dipajang di mana-mana waktu valentine) atau jantung (yang entah kenapa selalu diasosiasikan dengan perasaan).
Untuk menambah--lagi-lagi--efek dramatis, Jaja juga menaburkan bunga sepanjang jalan dari depan kos Laras hingga ke lapangan. Tapi, menurut gue tindakannya ini bukannya membuat suasana menjadi lebih (?) romantis, tapi malahan membuat bulu kuduk berdiri. Pasalnya, Jaja memilih bunga melati--yang katanya lebih 'indonesia' daripada mawar merah. Bayangkan: ornamen otak ditambah aroma melati! Gue semakin menyesali keberadaan gue di sana, di lapangan itu, di kelilingi anak-anak kecil yang dibalur cat warna-warni. Lebih baik gue di kosan saja, mulai membuka satu demi satu buku diktat gue dan fotokopian catatan kuliah. Soal anak-anak kecil itu, nanti kalian juga akan tahu sendiri peran mereka.
Di langit, matahari masih sembunyi di balik awan memberi efek sendu. (Gimana nggak sendu? Lha wong, Jaja menaruh celana dalam bekasnya ditambah dua siung bawang merah dan satu cabai merah di atap kosan supaya langit tidak mencurahkan airnya sore ini. Mungkin sang Mentari mual melihat sesajian Jaja itu dan memilih sembunyi saja). Angin sepoi-sepoi sedikit menghibur gue.
Tidak sampai tujuh menit berselang, Rani sudah berhasil membawa Laras ke lapangan (meskipun dengan raut yang tidak rela sekaligus merasa aneh) diiringi tepuk riuh warga RT 9 RW 2 yang kebanyakan adalah ibu-ibu yang anak-anaknya dipinjam Jaja. Lumayan, buat menunggu waktu sebelum Kroscek dan rentetan panjang acara gosip tayang di televisi sore ini. Dan, di sana, gue bertugas sebagai kameraman dengan sebuah handycam pinjaman.
Lapangan yang biasanya menjadi tempat sepak bola anak-anak itu telah berubah menjadi pusat keriaan baru bagi warga. Tidak lupa, rangkaian kertas krep warna-warni dan balon aneka bentuk dan ukuran (beberapa balon diduga kuat adalah kondom) menghiasi lapangan asri nan permai itu.
Ting. Bunyi handycam yang gue pegang. Gue sudah mulai merekam.
"Ras.. sejak gue ketemu dan kenalan sama loe, gue ngerasa ada sesuatu yang beda di dalam hubungan kita. Gue cuma ingin lo tahu, bahwa semua yang sudah gue lakuin ini.. semua hiasan, melati, balon-balon.. adalah biar kamu tahu perasaanku ke kamu. (Gue yakin gue pernah denger kalimat ini. Dari mana ya..) Tentang cinta ini, tentang perasaan yang menyiksaku hingga ke ubun-ubun hingga ke liang-liang lahat (mulai lagi gaya Tombal-nya).. Ras.. mau nggak kamu jadi pacar aku (pasti sebentar lagi Jaja bilang: atau aku mati saja).. atau aku mati saja! (huh, gak kreatif!!!)"
Gue menangkap perasaan campur aduk Laras (dan rasa bersalah Rani). Gue juga melihat dari layar LCD handycam ini, muka ibu-ibu mulai menunjukkan bahwa sebentar lagi mereka akan nangis bombay bersama. Mereka belum pernah melihat telenovela siaran langsung sampai hari ini. Sementara anak-anak mulai menggaruk-garuk cat yang mulai mengering di tubuh mereka. Dan, matahari masih ogah melirik.
"Ras.. gue butuh jawaban lo sekarang juga. Soalnya, konon, jawaban spontan adalah jawaban paling jujur dari dalam hati... nggak ada emosi yang menggurui, nggak ada pikiran yang intervensi.. cuma tinggal lo sendiri di sana yang..."
Kalimat Jaja terputus oleh suara tangis seorang ibu dalam daster orange.. Ibu-ibu lain datang dan mulai memberi perolongan pertama pada korban perasaan (P2KP) segera.
"..cuma tinggal lo sendiri di sana yang bisa memberi jawaban kejujuran.. kebenaran.. tanpa pretensi, yang independen. Lo kasih tau jawaban lo ke si Ujang (Jaja memegang pundak seorang anak di sebelah kanannya.. dan mendorongnya maju ke arah Laras).. nanti dia akan kasih tau jawaban kamu itu lewat temen-temennya (Jaja menunjuk sekumpulan bocah tanpa dosa--yang pasti segera akan mengenal lembah papa.. ha ha ha--yang diwarnai hijau, biru, ungu, orange, merah, dan kuning).
"Kalo jawaban lo ya.. mereka akan berjoget seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar untuk memutar kaset yang sudah disiapkannya..)"
Musik segera mengalun, menggetarkan udara, menggoyangkan bocah-bocah itu mengikuti irama senam SKJ 97 (Lhoh koq? Jangan tanya gue deh... gue gak tau apa-apa soal kaset dan balon kondom itu). Dengan gerakan kaku nan imut (can you imagine it?) bocah-bocah (balonku ada lima) yang rupa-rupa warnanya itu menggerakkan tubuhnya sesuai yang sudah Jaja ajarkan selama dua hari belakangan ini dengan imbalan pensil dan buku-buku tulis.
Jujur, gaya anak-anak itu begitu menggemaskan. Laras dan Rani sempat tersenyum lebar melihat mereka.
"Kalo jawaban lo nggak.. mereka akan seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar sekali lagi untuk memainkan kaset satunya)"
Kali ini musik klasik yang terdengar. Seperi bunyi musik latar film horor. (Jangan tanya kenapa ke gue). Bocah-bocah tadi langsung membentuk formasi. Mereka sedang bermain peran. Dua bocah menggambil pistol mainan plastik dan membidiknya ke arah tiga temannya yang sudah tersungkur di tanah sambil berteriak.. "Ampun.. ampun.. bunuh saja aku." Lalu dua orang tadi berteriak "Dolll.. dolll... mati kamu!" Dan diikuti gerakan mati dalam slow motion ketiga anak yang sedang rebahan begitu saja di tanah. Semua orang melongo menyaksikannya. Lapangan menjadi hening.
Perlu diingatkan, adegan ini sebaiknya tidak diperuntukkan bagi anak-anak usia 7-9 tahun. Tapi karena memang dasar Jaja sudah gila, jadi hanya dia yang boleh melakukannya--untuk pertama dan terakhir kalinya. Bahkan--dari ekspresi wajah ibu-ibu di sana--gue bisa menangkap bahwa inilah kali pertamanya bocah-bocah polos itu mempertunjukkan hasil latihannya.
"Jadi, Ras... kasih tau Ujang, apa jawaban lo." Kata Jaja dingin kepada Laras yang masih tertegun meliha anak-anak warna-warni itu demikian menghayatinya. Hati laras berkecamuk, pikirannya bagai toilet yang sedang di-flush, perutnya melilit, tangannya dingin.
Ujang maju mendekati Laras yang 60 senti lebih tinggi darinya. Laras masih tampak ragu memilih apa.
Sementara ibu-ibu mulai memberi semangat dengan menepuk-nepuk tangan sambil bilang, "Trima.. trima.. trima.." Gue yakin, ibu-ibu melakukan itu karena tidak tega melihat anak-anak mereka bermain teater-teateran ala Jaja seperti tadi lagi.
Laras membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga Ujang. Ujang lalu lari ke arah ibu Sukandar berdiri, lalu membisikinya. Ibu Sukandar dengan mantap mengambil salah satu kaset (gue tidak tahu kaset mana yang isinya apa, hanya ibu Sukandar yang tahu) dan memasukkannya dengan mantap ke dalam tape.
Sesaat, udara terasa berhenti mengalir. Matahari sudah condong ke barat, langit memerah. Gue rasa gue bisa mendengar degub jantung semua hadirin di sini.
... ... ...
Ternyata... musik senam eskaje sembilan tujuh!! yang disambut gegap gempita sorak sorai para penonton. Riuh rendahnya sudah bisa disepadankan dengan kehebohan para suporter Persib yang melihat timnya menyarangkan gol penentu kemenangan--kejadian ini mulai makin jarang terjadi--di gawang lawan (catat itu). Ibu-ibu saling peluk sambil menangis haru. Bunyi mercon meledak-ledak serasa lebaran cina. Kertas kelap-kelip beterbangan di udara. Gue memeluk Rina bahagia (sekaligus curi-curi 'kesempatan'): ternyata pengorbanan gue tidak sia-sia. Gue bisa belajar dengan riang gembira malam ini.
Huru-hara mereda. Orang-orang kembali masuk ke rumah masing-masing. Ternyata Jaja, Laras, dan Rani juga ikut raib. Tinggallah gue sendirian di tengah lapangan yang penuh sampah. Bu Sukandar datang membawa sapu lidi dan keranjang sampah besar dari bambu. "Yang bersih ya, encep! Ntar sampahnya dibuang di tong sampah di atas ya."
Ternyata hari ini belum usai. Gue jadi teringat pada mbok Ijah di rumah, nun jauh di kampung halaman. "Mbok.. bikinin kopi, dong, dua galon. Jangan lupa dicampur Irex tiga dus. Aku mau begadang malam ini."
malam-malam tanpa perasaan kantuk
9 Maret 2006, dini hari
PS: si Rifki baru nelpon ke simpati gue. Katanya dia lagi nunggu bis ke kantornya di Freeport sana. Semua sudah berjalan lancar.
Gue masih belum percaya dengan apa yang barusan dia bilang. Apanya yang 'all right'?
Jaja namanya. Lelaki yang sering mengaku sejati itu mengeluarkan binocular dari dalam tas. Jaja sudah gila. Kalau dia saja disebut gila, lalu apa namanya orang yang merelakan waktu paling berharganya untuk pergi bersama orang gila (baca: Jaja) dan melakukan hal yang tidak pasti kegunaannya. Padahal besok gue sudah diagendakan punya dua ujian dan gue sama sekali belum belajar. "Mana pagi-pagi, lagi!" Apalagi gue nggak biasa begadang!
"Udah belum sih, Ja'?"
"Bentar lagi deh, Dak."
Ya, kenalkan. Nama asli gue Pranata Wangsa. Lihat: tidak ada kata 'Dak'-nya sama sekali khan? Hanya orang gila itu saja yang memanggil gue 'Badak' cuma karena badan gue yang relatif lebar. Dan herannya, gue juga tidak menolak apalagi berontak. Mungkin karena alasan yang sama, badak di jawa punah perlahan: karena terlalu mengalah pada manusia.
"Aduh.. lo berat banget sih?"
Tapi sebenarnya, ada yang lebih berat dari tubuh Jaja, yang membuat gue lebih-lebih lagi berkeberatan: Jaja sudah berdiri di pundak gue selama paling tidak lima menit dan sudah dua kali dia kentut. Sumpah, bau timbunan sampah di depan kampus ditambah aroma dua bangkai kuda nil plus lima bunga bangkai mekar dalam waktu bersamaan saja mungkin baru bisa menandingi bau kentutnya!
"Bentar.. bentar lagi juga dia keluar."
Perkenalkan. Orang yang sedang dimata-matai Jaja adalah seorang wanita. Lumayan, tapi menurut gue sih tidak secantik yang diceritakan Jaja. Anak kampus sebelah. Namanya Laras. Jaja tergila-gila pada Laras. Jaja yakin, Laras diciptakan ke dunia untuknya. Sudah seminggu ini Jaja berkenalan dengan Laras. Dan, siang itu, Jaja berencana 'menembak' Laras, dengan cara paling romantis yang pernah ada di muka bumi. Bumi versi Jaja tentunya.
Mari kita review bersama 'bumi' sang romeo dari Kediri ini dan menelaah definisinya tentang romantisme. Jaja pernah mengirim sebuah surat cinta kepada seorang perempuan sewaktu kami masih di SMA. Romantis? Tunggu sampai gue selesaikan cerita ini. Dalam 'surat cintanya' itu, Jaja memang tidak banyak bicara. "Cinta itu tegas, straight to the point!" Jadi di surat itu Jaja praktis hanya menggunakan tidak lebih dari tiga belas kata saja: "Nana, I Love U. Plis jadi pacarku, atau aku mati saja!"
"Ini sih bukan surat, Ja'." Soalnya, di dalam pikiran gue, surat adalah serangkaian kata yang jauh lebih banyak dari itu. Di dalamnya ada basa-basi menanyakan kabar. Di dalam surat juga ada bagian isi dan penutup. Ada nama penulisnya, lalu tanda tangan. Dan semua itu ditulis dengan tinta pena. Hal yang paling membuat gue ogah menyebut surat itu dengan embel-embel cinta karena: "Ja', lo bener-bener nulis ini pake darah lo?!"
Efek dramatis. Itu katanya menjelaskan alasannya menulis surat dengan darah. "Ini sih bukan dramatis. Ini lebih mirip surat teror daripada surat cinta." Tapi, apalah daya ketika sang badak telah ditangkap sang pemburu-cinta berkulit gelap berambut ombak bernama Jaja Jangkaru. Hari itu, kami berdua berakhir di ruang BP untuk menjelaskan si 'surat cinta' berdarah di depan Pak Kosim dan kumis lebatnya.
"Dak, Laras udah keluar, Dak!" Kata Jaja sambil sedikit melompat-lompat girang.
"Woy... yang boneng lo... jangan loncat-loncat.. berat nih."
Lalu kami berdua pun dengan sukses roboh bersamaan yang diikuti bunyi debum keras dan mantap.
"Ayo, cepetan...," Jaja langsung bangun. Tangan ku yang masih kebas ditariknya. Kamipun berlari di lorong-lorong sempit Taman Hewan menuju tempat kejadian perkara. Tidak lupa, Jaja membunyikan peluitnya tiga kali sebagai tanda. Perasaan gue jadi tidak enak. Gue khawatir Jaja melakukan akan melakukan sesyuatu yang sama sekali tidak 'all right'.
(Oh iya, buat pembaca yang tidak familier dengan nama-nama daerah di kota Bandung, Taman Hewan bukanlah nama lain dari kebun binatang atau istilah kerennya 'zoo'. Tapi, adalah nama kawasan dengan banyak sekali kos-kosan dekat kampus sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung..hahaha..nyombong dikit boleh donk.)
Biar gue jelaskan secara ringkas dan jelas apa yang Jaja rencanakan hari ini. Pada prinsipnya, Jaja akan berusaha membuat Laras pergi menuju ke sebuah lapangan kecil di ujung salah satu jalan (lebih tepat disebut gang) Taman Hewan. Di lapangan itu (tempat kejadian perkara), Jaja berencana akan 'menembak' Laras.
Trus, bagaimana caranya Laras bisa digiring ke sana? Pertama, Jaja memastikan bahwa siang itu Laras tidak ada kuliah atau janji pergi dengan temannya. Jaja juga sudah sekongkol dengan Rani, teman satu kos Laras. Rani pura-pura minta diantarkan ke Warnet Garbul di dekat lapangan dengan alasan meminta Laras mengajarinya membuat Blog. Maklum, Blog sedang jadi tren.
Di sepanjang jalan. Jaja (dan unfortunately gue juga terpaksa terlibat) sudah menyiapkan aneka hiasan berbentuk otak manusia berwarna pink dengan nama Laras di tengahnya. Ya, otak. Bukan, hati seperti biasa. Soalnya, menurut majalah National Geographic Indonesia edisi Februari yang dibaca Jaja, cinta itu datangnya dari kerja otak dan sama sekali tidak ada urusannya dengan hati (liver, yang bentuknya tidak mirip dengan yang biasa dipajang di mana-mana waktu valentine) atau jantung (yang entah kenapa selalu diasosiasikan dengan perasaan).
Untuk menambah--lagi-lagi--efek dramatis, Jaja juga menaburkan bunga sepanjang jalan dari depan kos Laras hingga ke lapangan. Tapi, menurut gue tindakannya ini bukannya membuat suasana menjadi lebih (?) romantis, tapi malahan membuat bulu kuduk berdiri. Pasalnya, Jaja memilih bunga melati--yang katanya lebih 'indonesia' daripada mawar merah. Bayangkan: ornamen otak ditambah aroma melati! Gue semakin menyesali keberadaan gue di sana, di lapangan itu, di kelilingi anak-anak kecil yang dibalur cat warna-warni. Lebih baik gue di kosan saja, mulai membuka satu demi satu buku diktat gue dan fotokopian catatan kuliah. Soal anak-anak kecil itu, nanti kalian juga akan tahu sendiri peran mereka.
Di langit, matahari masih sembunyi di balik awan memberi efek sendu. (Gimana nggak sendu? Lha wong, Jaja menaruh celana dalam bekasnya ditambah dua siung bawang merah dan satu cabai merah di atap kosan supaya langit tidak mencurahkan airnya sore ini. Mungkin sang Mentari mual melihat sesajian Jaja itu dan memilih sembunyi saja). Angin sepoi-sepoi sedikit menghibur gue.
Tidak sampai tujuh menit berselang, Rani sudah berhasil membawa Laras ke lapangan (meskipun dengan raut yang tidak rela sekaligus merasa aneh) diiringi tepuk riuh warga RT 9 RW 2 yang kebanyakan adalah ibu-ibu yang anak-anaknya dipinjam Jaja. Lumayan, buat menunggu waktu sebelum Kroscek dan rentetan panjang acara gosip tayang di televisi sore ini. Dan, di sana, gue bertugas sebagai kameraman dengan sebuah handycam pinjaman.
Lapangan yang biasanya menjadi tempat sepak bola anak-anak itu telah berubah menjadi pusat keriaan baru bagi warga. Tidak lupa, rangkaian kertas krep warna-warni dan balon aneka bentuk dan ukuran (beberapa balon diduga kuat adalah kondom) menghiasi lapangan asri nan permai itu.
Ting. Bunyi handycam yang gue pegang. Gue sudah mulai merekam.
"Ras.. sejak gue ketemu dan kenalan sama loe, gue ngerasa ada sesuatu yang beda di dalam hubungan kita. Gue cuma ingin lo tahu, bahwa semua yang sudah gue lakuin ini.. semua hiasan, melati, balon-balon.. adalah biar kamu tahu perasaanku ke kamu. (Gue yakin gue pernah denger kalimat ini. Dari mana ya..) Tentang cinta ini, tentang perasaan yang menyiksaku hingga ke ubun-ubun hingga ke liang-liang lahat (mulai lagi gaya Tombal-nya).. Ras.. mau nggak kamu jadi pacar aku (pasti sebentar lagi Jaja bilang: atau aku mati saja).. atau aku mati saja! (huh, gak kreatif!!!)"
Gue menangkap perasaan campur aduk Laras (dan rasa bersalah Rani). Gue juga melihat dari layar LCD handycam ini, muka ibu-ibu mulai menunjukkan bahwa sebentar lagi mereka akan nangis bombay bersama. Mereka belum pernah melihat telenovela siaran langsung sampai hari ini. Sementara anak-anak mulai menggaruk-garuk cat yang mulai mengering di tubuh mereka. Dan, matahari masih ogah melirik.
"Ras.. gue butuh jawaban lo sekarang juga. Soalnya, konon, jawaban spontan adalah jawaban paling jujur dari dalam hati... nggak ada emosi yang menggurui, nggak ada pikiran yang intervensi.. cuma tinggal lo sendiri di sana yang..."
Kalimat Jaja terputus oleh suara tangis seorang ibu dalam daster orange.. Ibu-ibu lain datang dan mulai memberi perolongan pertama pada korban perasaan (P2KP) segera.
"..cuma tinggal lo sendiri di sana yang bisa memberi jawaban kejujuran.. kebenaran.. tanpa pretensi, yang independen. Lo kasih tau jawaban lo ke si Ujang (Jaja memegang pundak seorang anak di sebelah kanannya.. dan mendorongnya maju ke arah Laras).. nanti dia akan kasih tau jawaban kamu itu lewat temen-temennya (Jaja menunjuk sekumpulan bocah tanpa dosa--yang pasti segera akan mengenal lembah papa.. ha ha ha--yang diwarnai hijau, biru, ungu, orange, merah, dan kuning).
"Kalo jawaban lo ya.. mereka akan berjoget seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar untuk memutar kaset yang sudah disiapkannya..)"
Musik segera mengalun, menggetarkan udara, menggoyangkan bocah-bocah itu mengikuti irama senam SKJ 97 (Lhoh koq? Jangan tanya gue deh... gue gak tau apa-apa soal kaset dan balon kondom itu). Dengan gerakan kaku nan imut (can you imagine it?) bocah-bocah (balonku ada lima) yang rupa-rupa warnanya itu menggerakkan tubuhnya sesuai yang sudah Jaja ajarkan selama dua hari belakangan ini dengan imbalan pensil dan buku-buku tulis.
Jujur, gaya anak-anak itu begitu menggemaskan. Laras dan Rani sempat tersenyum lebar melihat mereka.
"Kalo jawaban lo nggak.. mereka akan seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar sekali lagi untuk memainkan kaset satunya)"
Kali ini musik klasik yang terdengar. Seperi bunyi musik latar film horor. (Jangan tanya kenapa ke gue). Bocah-bocah tadi langsung membentuk formasi. Mereka sedang bermain peran. Dua bocah menggambil pistol mainan plastik dan membidiknya ke arah tiga temannya yang sudah tersungkur di tanah sambil berteriak.. "Ampun.. ampun.. bunuh saja aku." Lalu dua orang tadi berteriak "Dolll.. dolll... mati kamu!" Dan diikuti gerakan mati dalam slow motion ketiga anak yang sedang rebahan begitu saja di tanah. Semua orang melongo menyaksikannya. Lapangan menjadi hening.
Perlu diingatkan, adegan ini sebaiknya tidak diperuntukkan bagi anak-anak usia 7-9 tahun. Tapi karena memang dasar Jaja sudah gila, jadi hanya dia yang boleh melakukannya--untuk pertama dan terakhir kalinya. Bahkan--dari ekspresi wajah ibu-ibu di sana--gue bisa menangkap bahwa inilah kali pertamanya bocah-bocah polos itu mempertunjukkan hasil latihannya.
"Jadi, Ras... kasih tau Ujang, apa jawaban lo." Kata Jaja dingin kepada Laras yang masih tertegun meliha anak-anak warna-warni itu demikian menghayatinya. Hati laras berkecamuk, pikirannya bagai toilet yang sedang di-flush, perutnya melilit, tangannya dingin.
Ujang maju mendekati Laras yang 60 senti lebih tinggi darinya. Laras masih tampak ragu memilih apa.
Sementara ibu-ibu mulai memberi semangat dengan menepuk-nepuk tangan sambil bilang, "Trima.. trima.. trima.." Gue yakin, ibu-ibu melakukan itu karena tidak tega melihat anak-anak mereka bermain teater-teateran ala Jaja seperti tadi lagi.
Laras membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga Ujang. Ujang lalu lari ke arah ibu Sukandar berdiri, lalu membisikinya. Ibu Sukandar dengan mantap mengambil salah satu kaset (gue tidak tahu kaset mana yang isinya apa, hanya ibu Sukandar yang tahu) dan memasukkannya dengan mantap ke dalam tape.
Sesaat, udara terasa berhenti mengalir. Matahari sudah condong ke barat, langit memerah. Gue rasa gue bisa mendengar degub jantung semua hadirin di sini.
...
Ternyata... musik senam eskaje sembilan tujuh!! yang disambut gegap gempita sorak sorai para penonton. Riuh rendahnya sudah bisa disepadankan dengan kehebohan para suporter Persib yang melihat timnya menyarangkan gol penentu kemenangan--kejadian ini mulai makin jarang terjadi--di gawang lawan (catat itu). Ibu-ibu saling peluk sambil menangis haru. Bunyi mercon meledak-ledak serasa lebaran cina. Kertas kelap-kelip beterbangan di udara. Gue memeluk Rina bahagia (sekaligus curi-curi 'kesempatan'): ternyata pengorbanan gue tidak sia-sia. Gue bisa belajar dengan riang gembira malam ini.
Huru-hara mereda. Orang-orang kembali masuk ke rumah masing-masing. Ternyata Jaja, Laras, dan Rani juga ikut raib. Tinggallah gue sendirian di tengah lapangan yang penuh sampah. Bu Sukandar datang membawa sapu lidi dan keranjang sampah besar dari bambu. "Yang bersih ya, encep! Ntar sampahnya dibuang di tong sampah di atas ya."
Ternyata hari ini belum usai. Gue jadi teringat pada mbok Ijah di rumah, nun jauh di kampung halaman. "Mbok.. bikinin kopi, dong, dua galon. Jangan lupa dicampur Irex tiga dus. Aku mau begadang malam ini."
malam-malam tanpa perasaan kantuk
9 Maret 2006, dini hari
PS: si Rifki baru nelpon ke simpati gue. Katanya dia lagi nunggu bis ke kantornya di Freeport sana. Semua sudah berjalan lancar.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home