Korek Api

Thursday, March 02, 2006

TK Bianglala

Sekolah itu penuh racun. Atau jangan-jangan cuma sekolah saya yang beracun? Saya mulai dibiasakan menenggak racun sejak TK. Oh iya, ngomong-ngomong saya pernah sekolah di empat SD berbeda, tiga SMP, dan dua SMU. Jangan tanya saya. Bukan saya yang ingin pindah. Buat saya, sekolah yang mana-saja: sama. Sama-sama beracun. Para guru saja yang merasa racun buatannya yang tidak mempan buat saya.

Kalau ditanya, kapan pertama kali saya meminum racun di sekolah, saya mohon maaf saya sudah lupa. Saking seringnya, lidah saya sudah semakin kebal karena terbiasa. Sekali lagi, sekolah itu racun. Tapi saya masih ingat suatu siang di bangku kecil yang dicat warna-warni di TK Bianglala, bu guru membunuh dengan dingin salah satu ide cemerlang saya dengan racunnya. Karena begitu mencintai pelajaran dan dengan alasan tidak ingin ketinggalan materi (belajar lagu baru, menggambar--lagi-lagi--sawah dan gunung, dsb) maka saya tidak sudi untuk memotong sewaktu ibu guru mengajar untuk hanya sekedar kencing ke belakang. Toh, itu semua bisa dilakukan dengan celana tetap terpasang. Saya nggak ngerti kenapa bu guru selalu mengatakan agar saya tidak usah bicara hal yang aneh-aneh lagi, seperti meminta bu guru memasang toilet duduk di dalam kelas, sambil membawa saya keluar seperti anak kucing bau. Ah, pikirku waktu itu, mungkin ide saya itu terlalu 'maju' untuk sebuah TK kecil di negeri ini.

Ada beberapa hal yang saya suka dari TK Bianglala. Saya suka saat absen pagi sebelum kelas dimulai. Kami diminta untuk memindahkan gantungan kecil berbagai bentuk dari satu papan ke papan lain di sebelahnya untuk menandakan bahwa kami hadir hari itu. Dan, waktu pulang, kami diminta melakukan sebaliknya. Saya masih ingat--saya benar-benar heran, padahal kata dokter banyak saraf di kepala saya yang sudah mati yang artinya daya jangkau dan daya tampung ingatan makin mengecil karena terlalu banyak meminum racun--absen saya berbentuk pohon. Sejak itu saya suka pohon dan tanaman. Baru kemarin saya membeli sebuah anggrek tak berbunga seharga lima juta rupiah. Istri saya hanya menggeleng-geleng tak mengerti pada 'obesesi' saya itu. Ya, dia mulai menyebut hobi saya itu sebagai sebuah obsesi, dan saya sudah mulai gila. Dan, dua puluh tahun kemudian, saya masih juga meminum racun.

Hal lain yang saya suka dari TK Bianglala adalah bel tanda habis pelajarannya. Bunyinya seperti lonceng tukan es serut langganan. Seperti banyak anak-anak normal lainnya, saya pun selalu menunggu lonceng sekolah berbunyi. Itu artinya saya boleh bermain papan luncur atau jungkat jungkit (saya masih main ini sampai SD di TK adik saya) atau kesenangan berebut mainan dengan anak-anak lain. Saya suka sekali bermain dengan tanah, berguling di atasnya. Bu guru selalu datang menghentikan permainan saya dan meminta saya agar jangan pernah berkelahi lagi. Saya kan hanya bermain bu? Kenapa anak yang saya ajak berguling di tanah itu terlalu cengeng. Mungkin karena dia tidak bisa membalas dua pukulan telak saya. Sekali lagi saya terlalu 'maju' buat mereka. Bertahun-tahun kemudian di televisi bahkan ada acara yang memperlihatkan orang berkelahi, bergulat, tapi semua orang tahu itu cuma pertunjukan, cuma main-main, seperti aku dan teman cengengku dulu.

Saya selalu suka menggambar. Saya selalu ingin menjadi seorang pelukis terkenal. Di sekolah, inilah mata pelajaran favorit saya. Saya merasa bebas berekspresi. Tapi, sebagai konsekuensi, saya harus meneguk racun dua kali. Petama, entah mengapa--mungkin karena terlalu asiknya--setiap kali menggambar--terutama dengan spidol--telapak tangan saya selalu penuh warna seperti kertas gambar saya. Sampai suatu hari bu guru menunjukkan telapak tangan saya itu di depan kelas. Dia memberi tahu agar jangan ada yang meniru. "Menggambar itu di atas kertas, bukan di badan." Ibu guru salah. Banyak orang yang menggambar macam-macam di tubuhnya dan menjadi terkenal, seperi Tora Sudiro, yang menurut saya sama sekali tidak lucu itu. Ada juga yang namanya palmpainting atau melukis dengan menggunakan telapak tanggan seperti pelukis terkenal Effendi. Coba bu guru tidak melarang saya melakukan palmpainting, mungkin lukisan-lukisan TK saya sudah diburu kolektor dan harganya jutaan rupiah sekarang.

Kedua, saya heran kenapa bu guru dan teman-teman di sekolah menggambar burung (yang tentunya sedang terbang di langit berlatar gunung dan sawah) berbentuk angka tiga terjungkir. Dari apa yang saya lihat, tidak begitu kenyataannya. Saya tidak ingin jadi korban 'mode', saya punya cara sendiri menggambar burung terbang. Lagi pula saya tidak begitu suka angka tiga. Saya tidak bisa menggambarkannya di sini, tapi yang pasti lebih realistis. Tapi kreatifitas saya itu masih terlalu 'dini'--menurutnya. Dia meminta saya menggambar angka tiga dengan strip di bawahnya saja dan mengikuti mayoritas. Ah, terserah lah. Toh bulan depan saya sudah pakai baju merah-putih terbalik.

Ah, saya lupa harus menjemput Raksa. Sebentar lagi dia pulang sekolah. Saya selalu menunggunya pulang di halaman TK-nya. Dan dia selalu pulang dengan celana basah, baju dekil, dan tangan penuh spidol. Ah, like father like son, tapi dengan kadar racun dalam tubuh yang saya harap lebih rendah.

"Papa udah bawa celana dan baju ganti di mobil. Nanti saja tanganmu dicuci. Siang ini kita mancing lagi yuk..."

1 Comments:

Post a Comment

<< Home