Korek Api

Friday, December 21, 2007

Not Yet 'Joni'

-uneg-uneg-

I had heard about this movie long before its release in 2005, when I was still a 'ca-kru' (or.. not yet a crew) at LFM -- Liga Film Mahasiswa. Janji Joni or Joni's Promise is one of Indonesia best movie, with a really fresh idea, although the 'excecution' wasn't really great.

To quote from Wikipedia, this movie tells about Joni:

"Joni works as a film/reel delivery man in Jakarta. One day, while waiting for the next pick-up, Joni meets a charming girl who is going to catch a film with her boyfriend Otto. The girl would only reveal her name to Joni if he successfully delivers the reels on time. However, things do not turn out well on that day as Joni faces obstacles such as the city's notorious traffic and various people that may disrupt his task."


Sadly, I haven't met any indonesian that has his 'spirit'.. or I should say 'integrity'. Not even if Mariana Renata is the one that 'drives' it. After one by one promises that my friends made to me was dropped, I started to doubt their integrity.. our integrity.. my integrity.

Compare to our next door neighbour, Singapore, Australia or even Malaysia, we--Indonesian--often neglect our promises or plan that we've made, that leaves us with piles and piles of unfinished matters. We easily forget and disrespect our commitment.


Instead of making a good plan, we're tend to sacrifice what we've had. Integrity is a real issue here: to commit to what we've promised and do our best to keep it on track, and courage to say 'No' if we meet something else that may 'interrupt' it along the way. Of course, obstacles are there, we may change our priority too, but we shouldn't be 'defeated' before the real 'battle' is begin.

We're still not yet as tough as 'Janji Joni'.

Saturday, December 01, 2007

Bangunlah Badannya, Bangunlah Jiwanya: Bangunlah Indonesia!

-tanahair-


Indonesia belum mati. Begitulah keyakinan saya. Beberapa hari kemarin saya menyaksikan nyalanya. Beberapa orang masih tertidur, bahkan tinggal dalam mimpi. Tapi tak sedikit juga yang mulai bangun.

Bencana alam tak menyadarkan kita, keterpurukan sosial-ekonomi juga masih melenakan. Tapi saya melihat sesuatu hal lain yang bisa menyatukan kita sebagai satu bangsa: Budaya!

Terima kasih kepada Malaysia. Ia menampar wajah kita keras-keras. Malaysia menyadari kekuatan Budaya, sesuatu yang agak terpinggirkan dalam pembangunan negeri itu. Sedikit demi sedikit mereka mencoba menyusun dan membenahi diri.

Di sisi lain, Indonesia yang punya segudang kekayaan: dari alam hingga budaya, mulai meninggalkan akarnya. Ia tertegun akan kemajuan dan gemerlapnya Barat. Ada juga yang menoleh ke Arab, Cina, dan India. Hal ini membuat ia melupakan kekayaan yang sudah ada dalam genggaman. Yang diperlukan hanyalah kemampuan untuk mengolahnya dengan bijak dan kerja keras.

Ya, kerja keras! Ada yang malas dan cari gampang saja dengan mengadopsi aturan-aturan agama dalam perundang-undangan, seolah-olah dengan mengatur cara berbusana semata kita bisa terhindar dari 'kutukan' kesengsaraan yang sebenarnya kita buat sendiri. Mereka-mereka ini--yang menghendaki penyeragaman--sadar atau tidak sedang menyeret bangsa ini makin jauh ke dalam kebodohan.

Bodoh, karena mereka mencoba menyediakan sebuah jawaban pasti atas segala sesuatu: Yang benar hanya ini, yang lain adalah pekerjaan setan. Otak anak-anak kita dibuat berhenti untuk berpikir dan bertanya, untuk menemukan sendiri jawaban segala permasalahan yang ada di hadapan mereka.

Menguasai manajemen-masalah adalah satu keharusan. Apa sebenarnya 'permasalahan' besar yang selalu ada di hadapan kita? Masalah mahabesar itu adalah perbedaan, kebhinnekaan. Perbedaan agama, budaya, bahasa, sampai selera dan seterusnya.

Tapi lihat apa yang kita lakukan belakangan ini: Jurang perbedaan itu makin kita buat keras dan tajam: Anak-anak sudah diajari untuk tidak bergaul dengan yang tidak se-agama. Tidak boleh menyalami dan mengucapkan selamat ketika mereka yang tidak seagama berhari raya. Mereka yang berkulit kuning dan bermata sipit tidak diakui sebagai bagian dari bangsa ini.

Bangsa ini butuh perekat, sesuatu yang mempersatukan; bersatu tapi tidak seragam. Para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah sadar itu. Mereka mencantumkannya di lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda namun bersatu!

Lalu apa yang bisa mempersatukan, kalau bahasa, agama, budaya kita berbeda? Menurut saya jawabannya adalah: Visi.

Visi yang jauh melihat ke depan tapi tidak melupakan masa lalu. Visi yang melampaui kepentingan-kepentingan jangka pendek yang egois. Vision that we share together. Dan, lagi-lagi kita beruntung. Para pendiri bangsa ini sudah menemukan jawabannya: Pancasila.

Lepas dari apa yang pemerintahan yang lalu lakukan terhadap Pancasila, inilah yang bisa mempersatukan kita. Para pendiri negara Malaysia pun tak bisa menyangkal bahwa Pandu Negara mereka juga terinspirasi oleh Pancasila: Ketuhanan-Kemanusiaan-Persatuan-Kerakyatan-Kesejahteraan.

Agama tak bisa menyatukan. Kalaupun dipaksakan, mereka yang berbeda agama/keyakinan akan selalu menjadi "orang lain". Bagaimana kita bisa bersatu jika kita hidup dalam sekat-sekat keterasingan?!

Dalam satu agama saja ada sekian banyak aliran pemikiran yang tak jarang menimbulkan konflik. Bagaimana caranya membuktikan agama/keyakinan siapa yang paling benar? Sudah berabad-abad lamanya manusia mencoba saling membuktikan 'kebenaran' agamanya, tapi ujung-ujungnya yang terjadi adalah konflik dan bahkan perang.

Tidakkah kita belajar dari itu semua? Bangunlah Indonesia!