Korek Api

Friday, July 25, 2008

Pilihan

-berbagi rasa-


“Kau adalah musuh sekaligus kawan bagi dirimu sendiri.”

- Krishna kepada Arjuna di Kurukshetra -


Pilihan. Kita tak pernah melewatkan hari tanpa memilih: mulai dari pilihan-pilihan rumit yang memerlukan waktu panjang buat berpikir sampai pilihan yang kita ambil secara otomatis lewat alam bawah sadar. Memilih presiden atau lurah, atau ketua kelas.. memilih pakaian, dasi, sampai alas kaki.. memilih kata dan kalimat pembuka.. dan seterusnya, semua memiliki segenap konsekuensi yang musti kita tanggung sendiri. Ini adalah sebuah 'perang' abadi.


Beberapa hari belakangan ini ada sebuah tulisan yang sedang saya cerna, saya kunyah pelan-pelan. Tulisan itu asalnya dari Dewi Lestari, penulis favorit saya. Di dalam blog-nya, ia bertutur, berbagi rasa, sekaligus menumpahkan unek-uneknya seputar keputusannya berpisah dengan Marcell. Sebuah tulisan yang dalam, sekaligus sebuah 'perang' yang dahsyat!


Beragam komentar masuk. Banyak yang memberi dukungan, tak sedikit yang menyayangkan bahkan menghardik keputusan yang diambil Dewi. Dari sana, ada hal yang mengetuk kesadaran saya: bahwa sepanjang apapun penjelasan yang kita berikan untuk memaparkan latar belakang pilihan hidup yang kita ambil, takkan pernah bisa memuaskan semua pihak. Dan, saya yakin Dewi tidak juga ingin mencoba melakukan itu lewat tulisannya.


Saya memahami tulisan Dewi itu bukan sebagai 'curhat'—karena ia tak memaparkan detail apa yang terjadi antara dia dan Marcell—ia tak mengadu, tak juga mengaduh. Menurut saya, ia sedang berbagi rasa. Ia menemukan 'insight' yang ingin ia bagi kepada pembaca blog-nya. Dan, saya berterima kasih ia telah melakukan itu.


Beberapa pembaca tidak memahami Dewi, dan kemudian terjebak menghakimi. Dengan begitu mereka melewatkan kesempatan emas untuk belajar dari apa yang coba Dewi sampaikan—benar atau salah. Saya tidak sedang membela pilihan Dewi atau menentangnya. Saya tak ingin ikut campur. Saya hanya memposisikan diri sebagai penonton.


Kembali ke soal pilih-memilih, yang menjadi polemik sehari-hari, memang tak ada rumus sederhana yang bisa kita pakai untuk membatu kita dalam hal ini. Saya kenal baik dengan seorang teman yang begitu sulit mengambil pilhan—ia sering maju tapi kemudian lebih banyak mengambil langkah mundur. Seringkali kita melakukan itu karena satu alasan dasar: takut!


Takut menghadapi konsekuensi, karena setiap kita memutuskan sesuatu, di sana selalau saja akan ada salah dan benar. Dan kita seringkali takut menjadi salah, segan terjerembab, hanya mau bersentuhan dengan yang benar. Tapi, bukankah selama ini itulah cara kita belajar. Hidup tidak monochromatic; tidak hitam dan putih, tidak ada seteru antara Setan dan Tuhan. Be wrong, but at the same time be brave to face all the consequence.


Di sini, saya ingat percakapan abadi antara Arjuna dan sais keretanya, Krishna, beberapa saat sebelum perang Bharatayudha dimulai. Arjuna—yang sebelumnya begitu bersemangat untuk berperang—tiba-tiba kehilangan arah dan memutuskan untuk mundur. Dalam momen-momen kristis itulah Krishna mencoba membangunkan kesadaran Arjuna, dan dari sana ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil tentang pilihan:


Pertama, ingatlah apa yang menjadi tujuan (hidup) kita. Atau dengan kata lain, sebaiknya kita memfokuskan diri mencari solusi permasalahan yang sedang dihadapi. Perceraian Dewi bukanlah soal apa yang para penonton infoteinmen akan pikir tentang dia. Bukan pula urusan para kuli tinta, disket, dan sebagainya.


Satu tips: jangan sering men-judge orang lain supaya tidak selalu merasa dihakimi atas semua langkah yang kita ambil—atau singkatnya, jangan tonton infoteinmen!


Yang saya maksud dengan tujuan hidup di sini bukanlah tujuan jangka pendek, tapi sesuatu yang sifatnya lebih langgeng. Arjuna diingatkan bahwa perang yang hendak ia lakukan bukanlah untuk mengalahkan dan merebut kekuasaan, tapi untuk menegakkan keadilan.


Kedua, jujur, jangan cari-cari pembenaran dan jangan mempermak keadaan. Semakin terbuka kita maka akan semakin mudah kita menemukan akar masalah yang sedang dihadapi. Jangan-jangan apa yang kita lakukan selama ini hanya melarikan diri dari masalah. Jujur saja!


Ketiga, dengarkan dan jangan ragukan suara hati nurani. Mungkin ini terdengar mudah, tapi sebenarnya tidak—setidaknya buat saya. Saya masih sering salah anatara suara nurani dan mana suara nafsu.


Keempat, jangan menunda, putuskan lalu hadapi dengan berani segala konsekuensi yang akan kita hadapi!



Salam,


MH

Sunday, July 06, 2008

Mengapa Indonesia?

- tentang Indonesia -


Seorang kawan bertanya, “Mengapa orang-orang Papua menjadi bagian Indonesia? Warna kulit dan penampilan fisik mereka berbeda.” Pertanyaan itu menyengat saya.


Indonesia bukan melayu. Ia tidak sama dengan jawa atau sumatera atau bali. Indonesia bukan negara yang dibagun dengan landasan kesamaan etnis. Indonesia juga bukan Islam, atau Kristen, atau Hindu, dan seterusnya. Ia tak dihimpun karena agama.


Lalu apa itu Indonesia? Kenapa kita menjadi 'Indonesia'? Kenapa dalam 1001 perpedaan yang dimiliki bangsa ini, kita memilih menjadi satu? Apa yang merekatkan? Bila bukan suku, etnis, bukan juga agama atau budaya, lantas apa yang membuat kita bersatu?


Mungkinkah persamaan nasib? Sama-sama pernah dijajah Belanda. Sama-sama menderita ketika Jepang mendarat dengan pesawat-pesawat dan kapal-kapal tempurnya. Mungkin.


Mungkin persamaan ide, tujuan? Sama-sama ingin menciptakan sebuah negeri yang adil dan makmur. Sama-sama bercita-cita bahwa setiap warga negara punya kedudukan yang sama; tidak ada yang di atas atau yang lebih rendah. Sama-sama memimpikan negeri yang maju dan beradab. Mungkin.


Mungkin karena kesadaran? Sama-sama sadar bahwa pulau yang satu dan lain saling membutuhkan, saling terjalin hubungan yang harmonis. Sama-sama sadar bahwa dengan bersatu, kita bisa saling bantu dan menjadi maju. Sama-sama sadar bahwa untuk menjadi kuat kita harus berhimpun. Mungkin.


?