Pedas: Sebuah Pelajaran Bagus (PSPB)
-ini tulisan serius!-
Lidah gue masih terasa terbakar waktu gue masuk dan duduk di angkot. Pedes tapi nikmat atau.. pedes itu nikmat! Mungkin pengalaman gue yang paling intens sekaligus intim dengan rasa yang satu ini udah dimulai jauh sebelum gue lahir yang bikin gue gak bisa ngelepas sambel dari menu makan harian. Ah, sudahlah... yang jelas gue kepedesan dan pengin pulang.
Seperti kebiasaan gue sehabis makan, apalagi yang pedes-pedes, titik-titik keringat mulai muncul melembabkan tubuh: di akar rambut di dahi, pada lipatan-lipatan kulit gue yang menggelambir, dsb. Ditunjang dengan latar yang mendung, membuat siang itu gerah yang sempurna. Lalu gue menghenyakkan badan di tempat duduk depan pintu. Supaya dapet angin. Ternyata gak cuma gue yang kepanasan.. atau kepedesan ya.. di angkot yang ngetem itu.
Adalah seorang lelaki dengan raut yang menua sudah duduk lebih dulu di dalam angkot. Kumis dan jenggotnya panjang tapi jarang-jarang dan mulai beruban. Pakaiannya rapi. Pake jaket item, di dalemnya kemeja yang mulai lusuh dan pudar warnanya. Dipadu padan dengan celana panjang dari kain yang juga hitam plus sepatu cokelat. Di sebelahnya duduk seorang anak muda, mungkin anaknya, mungkin keponakannya, atau mungkin mereka hanya kebetulan kenal tanpa perlu ada silsilah. Anak muda itu termasuk kelompok anak gaul. Potongan rambutnya, baju, aksesoris, sepatu.. semuanya menunjukkan bahwa dia nggak sudi ditinggal jaman.
Lidah gue masih pedes, perut kenyang. Sebenernya nggak ada yang menarik perhatian gue dari mereka, sampai si lelaki tua ber-monolog, diawali dengan pertanyaan, “Tau nggak kenapa Jogja kena gempa?”
Hangat! Di koran di televisi di mana-mana orang bicara soal Jogja yang Sabtu (27/5) kemaren digoyang gempa. Lelaki tua itu juga ogah ketinggalan. Termasuk dalam soal memberi hipotesisnya mengenai sebab musabab bumi yang bergidik 57 detik itu.
Gue gak ngelihat ekspresi si anak muda. Tapi dibayangan gue dia menekuk kulit dahinya, mencoba menangkap apa maksud lelaki tua itu. Anak muda itu nggak menjawab, dia nggak juga bilang ‘nggak tau tuh, pak’. Sama seperti penumpang plus sopir angkot: semua diam dan menanti. Tanpa perlu lama, lelaki tua itu menjawab teka-teki.
“Jogja khan kota pelajar ya...” — lalu? Lelaki ini berhasil membuat kami penasaran.
“Di sana semua ilmu dipelajari.. kecuali satu!” — apaan tuh, Pak?
“Ilmu agama ... ” — lhoh? Apa hubungannya ya?
Gue diem, seperti penghuni angkot yang lain. Gue mencoba log in lagi ke otak gue yang sedari tadi—eh, udah berbulan-bulan ding—dalam sleep mode. Apa ya kira-kira hubungannya antara sebuah kota yang—menurut bapak itu—nggak mengajari agama dengan sebuah gempa?
Hmmm... kenapa gue gak pernah diajari soal yang begini ini waktu pelajaran Geologi Dinamik, jaman kuliah dulu. Apa mungkin gue yang lagi setengah sadar (soalnya kuliahnya dimulai jam 7 pagi) waktu pak dosen ngajar sampe gue gak tau soal yang begini penting?
Anak muda itu cuma duduk dan tertunduk. Mungkin dia juga sedang berpikir. Dia.. juga gue.. akhirnya nyerah! Lelaki tua itu tertawa digdaya. Ia menang. Ia memecundangi akal gue yang meskipun udah berkarat ini tapi sempat numpang lewat kuliah di samping Kebon Binatang Bandung (bangga nih ye..).
Lalu lelaki itu menambah “... Azab.” — * ting! Dan, lalu pencerahan!
Ah, rupanya menurut dia gempa kemarin itu datang karena Tuhan yang murka. Bukan karena tumbukan dua lempeng bumi yang sedang tersentak. Mungkinkah? Nggak ada yang nggak mungkin (sampai Tuhan sendiri datang dan ngomong terus terang). Tapi pertanyaannya, haruskah dia mengatakan hal seperti itu?
Bagaimana bila suatu ketika (amit-amit!) Bandung diguncang gempa yang dahsyat juga? Ini bukan nggak mungkin terjadi. Karena Kota bandung duduk di dekat sebuah patahan besar yang mungkin bisa bergerak lalu seluruh kota akan sontak terserak. Sementara di Bandung, sekolah-sekolah yang mengajar ilmu agama bertebaran. Apakah dia akan mengatakan hal yang sama? Atau mungkin akan ada yang menemukan alasan lain yang mirip-mirip, misalnya: karena pergaulan bebas yang marak atau anak-anak yang lebih hapal syair lagu Peter Pan daripada isi kitab suci?
Ah, saya yakin, lelaki tua itu akan punya bahasa yang berbeda jika ia sendiri yang mengalaminya (bukannya ndoain nih, Pak). Tapi, kemudian muncul rasa kasihan dalam diri gue kepada si bapak... Bagaimana ia bisa menyimpulkan hal yang sepedes—bahkan cenderung kejam—itu? Bagaimana ia bisa berbicara sedemikian tahayul?
Bukankah jika Tuhan melaknat saudara-saudara kita di Jogja, Ia juga sedang melaknat kita yang duduk di depan layar ini, juga mereka yang menumpang di dalam angkot, karena kita sebangsa (bahkan sepulau)? Apakah bencana tak pernah terjadi di tanah-tanah suci? Apakah musibah tak tiba di rumah-rumah ibadah? Apakah ia hanya singgah di kedai-kedai pelacur dan di ruang-ruang korupsi?
Lalu.. jika bencana itu mengetuk pintu rumah kita, kita menyebutnya cobaan karena Tuhan sayang.. namun jika ia mengempas rumah orang lain—apalagi yang tidak sejalan dengan kita—kita menyebutnya azab karena Tuhan murka.. Seolah-olah Tuhan milik kita seorang dan memusuhi yang lain?
Lelaki itu telah menebar ‘kepedasan’—tak hanya di lidah—tapi dalam benak orang-orang. Haruskah ia dihentikan, dimarahi, dijerat dengan undang-undang, atau dilarang? Tak perlu, ia hanya perlu disayang. Dan, seperti sambel yang pedes, ia (baca: pemikiran macem itu) harus keluar lewat sebuah perjuangan panjang yang menyakitkan dan membuat tubuh capek lewat mencret... yang lalu menyisakan kata-kata penuh tekad, “Nggak lagi-lagi deh makan yang pedes-pedes. Besok gue makan sayuran ma buah-buahan ajah... Suer! Please.. jangan ‘keluar’ lagi, donk.”
Lidah gue masih terasa terbakar waktu gue masuk dan duduk di angkot. Pedes tapi nikmat atau.. pedes itu nikmat! Mungkin pengalaman gue yang paling intens sekaligus intim dengan rasa yang satu ini udah dimulai jauh sebelum gue lahir yang bikin gue gak bisa ngelepas sambel dari menu makan harian. Ah, sudahlah... yang jelas gue kepedesan dan pengin pulang.
Seperti kebiasaan gue sehabis makan, apalagi yang pedes-pedes, titik-titik keringat mulai muncul melembabkan tubuh: di akar rambut di dahi, pada lipatan-lipatan kulit gue yang menggelambir, dsb. Ditunjang dengan latar yang mendung, membuat siang itu gerah yang sempurna. Lalu gue menghenyakkan badan di tempat duduk depan pintu. Supaya dapet angin. Ternyata gak cuma gue yang kepanasan.. atau kepedesan ya.. di angkot yang ngetem itu.
Adalah seorang lelaki dengan raut yang menua sudah duduk lebih dulu di dalam angkot. Kumis dan jenggotnya panjang tapi jarang-jarang dan mulai beruban. Pakaiannya rapi. Pake jaket item, di dalemnya kemeja yang mulai lusuh dan pudar warnanya. Dipadu padan dengan celana panjang dari kain yang juga hitam plus sepatu cokelat. Di sebelahnya duduk seorang anak muda, mungkin anaknya, mungkin keponakannya, atau mungkin mereka hanya kebetulan kenal tanpa perlu ada silsilah. Anak muda itu termasuk kelompok anak gaul. Potongan rambutnya, baju, aksesoris, sepatu.. semuanya menunjukkan bahwa dia nggak sudi ditinggal jaman.
Lidah gue masih pedes, perut kenyang. Sebenernya nggak ada yang menarik perhatian gue dari mereka, sampai si lelaki tua ber-monolog, diawali dengan pertanyaan, “Tau nggak kenapa Jogja kena gempa?”
Hangat! Di koran di televisi di mana-mana orang bicara soal Jogja yang Sabtu (27/5) kemaren digoyang gempa. Lelaki tua itu juga ogah ketinggalan. Termasuk dalam soal memberi hipotesisnya mengenai sebab musabab bumi yang bergidik 57 detik itu.
Gue gak ngelihat ekspresi si anak muda. Tapi dibayangan gue dia menekuk kulit dahinya, mencoba menangkap apa maksud lelaki tua itu. Anak muda itu nggak menjawab, dia nggak juga bilang ‘nggak tau tuh, pak’. Sama seperti penumpang plus sopir angkot: semua diam dan menanti. Tanpa perlu lama, lelaki tua itu menjawab teka-teki.
“Jogja khan kota pelajar ya...” — lalu? Lelaki ini berhasil membuat kami penasaran.
“Di sana semua ilmu dipelajari.. kecuali satu!” — apaan tuh, Pak?
“Ilmu agama ... ” — lhoh? Apa hubungannya ya?
Gue diem, seperti penghuni angkot yang lain. Gue mencoba log in lagi ke otak gue yang sedari tadi—eh, udah berbulan-bulan ding—dalam sleep mode. Apa ya kira-kira hubungannya antara sebuah kota yang—menurut bapak itu—nggak mengajari agama dengan sebuah gempa?
Hmmm... kenapa gue gak pernah diajari soal yang begini ini waktu pelajaran Geologi Dinamik, jaman kuliah dulu. Apa mungkin gue yang lagi setengah sadar (soalnya kuliahnya dimulai jam 7 pagi) waktu pak dosen ngajar sampe gue gak tau soal yang begini penting?
Anak muda itu cuma duduk dan tertunduk. Mungkin dia juga sedang berpikir. Dia.. juga gue.. akhirnya nyerah! Lelaki tua itu tertawa digdaya. Ia menang. Ia memecundangi akal gue yang meskipun udah berkarat ini tapi sempat numpang lewat kuliah di samping Kebon Binatang Bandung (bangga nih ye..).
Lalu lelaki itu menambah “... Azab.” — * ting! Dan, lalu pencerahan!
Ah, rupanya menurut dia gempa kemarin itu datang karena Tuhan yang murka. Bukan karena tumbukan dua lempeng bumi yang sedang tersentak. Mungkinkah? Nggak ada yang nggak mungkin (sampai Tuhan sendiri datang dan ngomong terus terang). Tapi pertanyaannya, haruskah dia mengatakan hal seperti itu?
Bagaimana bila suatu ketika (amit-amit!) Bandung diguncang gempa yang dahsyat juga? Ini bukan nggak mungkin terjadi. Karena Kota bandung duduk di dekat sebuah patahan besar yang mungkin bisa bergerak lalu seluruh kota akan sontak terserak. Sementara di Bandung, sekolah-sekolah yang mengajar ilmu agama bertebaran. Apakah dia akan mengatakan hal yang sama? Atau mungkin akan ada yang menemukan alasan lain yang mirip-mirip, misalnya: karena pergaulan bebas yang marak atau anak-anak yang lebih hapal syair lagu Peter Pan daripada isi kitab suci?
Ah, saya yakin, lelaki tua itu akan punya bahasa yang berbeda jika ia sendiri yang mengalaminya (bukannya ndoain nih, Pak). Tapi, kemudian muncul rasa kasihan dalam diri gue kepada si bapak... Bagaimana ia bisa menyimpulkan hal yang sepedes—bahkan cenderung kejam—itu? Bagaimana ia bisa berbicara sedemikian tahayul?
Bukankah jika Tuhan melaknat saudara-saudara kita di Jogja, Ia juga sedang melaknat kita yang duduk di depan layar ini, juga mereka yang menumpang di dalam angkot, karena kita sebangsa (bahkan sepulau)? Apakah bencana tak pernah terjadi di tanah-tanah suci? Apakah musibah tak tiba di rumah-rumah ibadah? Apakah ia hanya singgah di kedai-kedai pelacur dan di ruang-ruang korupsi?
Lalu.. jika bencana itu mengetuk pintu rumah kita, kita menyebutnya cobaan karena Tuhan sayang.. namun jika ia mengempas rumah orang lain—apalagi yang tidak sejalan dengan kita—kita menyebutnya azab karena Tuhan murka.. Seolah-olah Tuhan milik kita seorang dan memusuhi yang lain?
Lelaki itu telah menebar ‘kepedasan’—tak hanya di lidah—tapi dalam benak orang-orang. Haruskah ia dihentikan, dimarahi, dijerat dengan undang-undang, atau dilarang? Tak perlu, ia hanya perlu disayang. Dan, seperti sambel yang pedes, ia (baca: pemikiran macem itu) harus keluar lewat sebuah perjuangan panjang yang menyakitkan dan membuat tubuh capek lewat mencret... yang lalu menyisakan kata-kata penuh tekad, “Nggak lagi-lagi deh makan yang pedes-pedes. Besok gue makan sayuran ma buah-buahan ajah... Suer! Please.. jangan ‘keluar’ lagi, donk.”
Dari Angkot dengan Perut Mules!