Korek Api

Sunday, March 26, 2006

Aroma

Kalimatnya hampir seperti puisi.

"... ia selalu bisa mengikat rasa. Ia tak pernah salah menakar garam dan lada."

Lelaki itu berdiri gemetar. Saya yakin dia tak sedang gugup karena ini bukan kali pertama baginya berbicara di depan orang banyak. Toh, yang datang adalah keluarga.

"... Saya teringat suatu saat, di sepenggalan malam. Ia muncul entah dari mana memberiku kecupan dan menyapa. Ia bertanya apa yang sedang aku baca.

"'Tolstoy', aku bilang. Matanya dan mataku bertemu. 'Kenapa ayah selalu membaca buku-buku tebal dan membosankan,' katanya."


Aku kenal lelaki itu. Dia masih kerabat jauh istriku. Ia biasa dipanggil Oom Reuben. Empat puluh tujuh tahun. Istrinya, Martha, duduk di baris depan. Tak banyak yang aku tahu tentang mereka berdua. Yang aku tahu mereka punya dua putra: Hugo dan Javier.

"Setelah itu, ia memintaku berhenti dulu dan menatap dalam-dalam mataku. 'Aku tidak bisa, Pa.' Aku mencoba menarik semua memoriku, mencoba mengerti apa yang sedang ia coba sampaikan. 'Aku tidak bisa menikahi Dara.' Aku mengerti, tapi aku tidak mau mengerti."

Dara. Ya. Aku kenal gadis itu. Hugo pernah mengenalkanku sekitar tiga bulan yang lalu. Kami tanpa sengaja bertemu di sebuah rumah makan. Aku dan istriku hendak pergi. Kami berpapasan dengan mereka di dekat pintu keluar. Aku ingat mata coklat Dara. Sangat binar. Tapi tidak Hugo.

"'Hugo, kau tau khan mengapa pernikahan ini harus terjadi? Apa Papa harus ulangi?' aku berkeras hati.

"'Hugo tidak ingin seperti ini, Pa. Papa tahu, Hugo tak ingin menjadi durhaka, tapi Hugo tidak punya cinta untuk Dara. Hugo sudah punya wanita,' dia mewarisi keras kepalaku dan kelembutan hati Martha. Ia tak pernah tega menyakiti hatiku.

"Saat itu aku menduga, ia sedang mempermainkanku. Ia tak punya wanita, kukira.. Ia hanya sedang mencoba membuat alasan untuk tak menurutiku."


Aku tahu 'wanita' yang dimaksud Hugo. Itu sebabnya aku kaget ketika bertemu mereka berdua di rumah makan itu, karena aku kenal dengan Yarra lebih dulu. Yarra adalah 'si wanita'.

"Kamipun beradu kata.. atau mungkin lebih tepat disebut beradu ego. Siapa yang menguasai siapa.. siapa yang takluk, siapa yang jawara. Seperti biasa, malam itu tak ada simpul yang mempertemukan kami. Ia lalu pergi."

Hugo pergi ke rumahku. Ia mengetuk pintu pukul satu, setelah sebelumnya mengabariku lewat telepon. Matanya sembab, matanya kuyu. Dia bilang, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Oom Reuben terlalu keras kepala.

Sudah lama aku tahu, Hugo adalah hadiah Reuben pada Sena sepupunya. Reuben punya hutang-budi pada ayah Sena. Ia membiarkannya menumpang dirumah dan menyekolahkannya hingga sarjana. Oom Reuben tak pernah alpa bahwa anaknya dan anak Sena--jika sepasang--akan dijodohkan. Mungkin banyak orang akan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Ya, di jaman serba digital yang mengagungkan individualitas, masih ada Siti Nurbaya.

"Aku tak tahu ke mana Hugo pergi... sampai sebulan lalu aku mendapat kabar tentangnya dari..."

Dari aku. Aku menelpon Oom Reuben sore itu dari kantor.

Beberapa menit sebelumnya, Hugo menghubungiku. Dia terdengar sangat gelisah. Dia meracau tentang Yarra, tentang dirinya, tentang Dara dan papanya. Aku kemudian tahu, ia sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Beberapa kali aku dengar Hugo memukul-mukul klakson mobilnya. Lalu, aku memintanya untuk tenang dan menepi.

Aku segera pergi menemuinya dan mengantarnya ke Bandung. Kami berbicara selama sisa perjalan.

"Hugo masih kembali sebulan sekali pada akhir pekan. Ia menjadi pendiam dan tak pernah lagi mengajakku berdebat tentang berita-berita di koran.. tentang kebijakan pemerintah yang berat sebelah, tentang orang-orang dungu yang membunuh dirinya dan beberapa orang lain demi ideologi.

"Aku masih ingat Hugo kecil yang selalu bilang bahwa dia ingin menjadi arsitek sepertiku. Tapi, tak sepertiku, ia juga pandai meracik rasa."


Oom Ruben menitikkan air mata. Agak janggal rasanya melihat lelaki setegar dia menangis. Caranya menangis mengingatkanku pada Hugo.

"'Sembilan puluh persen rasa,' Hugo pernah bilang padaku, 'datang dari aroma.'"

Aku masih bisa membaui aroma itu. Aku tak pernah suka aroma kimia yang selalu tercium di rumah-rumah sakit. Tapi aroma yang aku hirup saat itu tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan aroma obat kimia manapun.

Tak ada yang bisa memilih ke mana aliran sungai kehidupan akan membawa seseorang. Aroma duka begitu kuat menusuk hidungku: campuran antara bau daging hangus dan macam-macam lagi yang rasanya membuat isi perutku teraduk.

Jasad Hugo ditemukan dalam bak mandi. Kemarin pagi rumah kontrakannya terbakar habis. Sepertinya ia tak sempat keluar melarikan diri, dan pikirnya, air di dalam bak bisa melindungi. Aku tak bisa lagi mengenali tubuh Hugo yang bagai arang. Aku lalu membawa tubuhnya pulang.

"Kata orang, sesal selalu datang di belakang.. Aku menyesal tak sempat bertanya padanya tentang cinta yang dia rasa.. tentang wanita yang dia puja..."

Yarra yang juga datang ke acara pemakaman ini duduk tak jauh dariku menatap kosong ke depan.

"Aku merasa sebagai ayah terburuk di dunia yang terlalu keras kepala. Biarlah aku yang kini hidup menanggung duka. Yang pasti, aku akan merindukan aroma masakan-masakan yang selalu dibuatnya dengan sempurna."

Aku menatap wajah istriku sambil tersenyum. Lalu kutaruh tanganku di atas perutnya yang mulai membuncit. "Aku mencintaimu." Dia bilang, "Aku tahu." Lima bulan lagi anak pertama kami akan lahir. "Dan, aku akan selalu mencintainya."


buat seorang teman yang sedang bimbang tentang cinta
10.51 malam

Saturday, March 18, 2006

Below the sign "Dilarang Berjualan di Sini"

Pernah dikejar kamtib malem-malem bulan purnama? Sepatu hak tinggi sialan (warna merah, tali-tali, 10 senti--ada yang nemu?)! Bayangkan: menghidari petugas dalam rok hitam ketat yang aku pakai agar pantatku tampak padat--yang sama sekali nggak dirancang buat lari pagi! Berkelit mengayunkan kaki dalam stoking robek dan celana dalem super menerawang yang baru aku beli seharga tiga ratus ribu duit pinjaman dari Mami!

Di sana, below the sign "Dilarang Berjualan di Sini"--yang katanya bukan tempat untuk menjual harga diri. Apalagi saat-saat begini, ketika orang kebanyakan sedang bersiap mengambil wudhu pagi, aku malah di kali: berendam, berenang-renang ketepian tanpa rakit dan galah. Tapi aku lupa: kalau aku sebenarnya tak bisa berenang.

Dua hari kemudian, mereka menemukanku tersangkut di enceng gondok di tepi kali, satu setengah kilometer dari malam bulan purnama itu. Entah bagaimana aku bisa mengapung di sana (padahal aku selalu susah melakukannya ketika belajar berenang). Aku cuma ingat.. aku menelan air-air gelap yang makin lama makin membuatku larut seperti gula-gula dalam cangkir kopi yang dijual di warung kecil mbok Sum.

Kini, aku selalu mangkal di sini. Di jembatan tua yang sepi, di atas rerimbunan enceng gondok yang sedang berbunga ungu terang. Tapi entah kenapa orang-orang selalu berusaha menghindar lari jika bertemuku. Sebisa mungkin mereka tidak lewat sini, apalagi bila matahari telah lama pergi seperti malam ini.


Pukul 12.28 malam
tanpa sepatu hak tinggi

Thursday, March 09, 2006

The Chronicle of Taman Hewan:
Sang Pemburu, Badak, dan Irex Tiga Dus

"Everything is gonna be all right."

Gue masih belum percaya dengan apa yang barusan dia bilang. Apanya yang 'all right'?

Jaja namanya. Lelaki yang sering mengaku sejati itu mengeluarkan binocular dari dalam tas. Jaja sudah gila. Kalau dia saja disebut gila, lalu apa namanya orang yang merelakan waktu paling berharganya untuk pergi bersama orang gila (baca: Jaja) dan melakukan hal yang tidak pasti kegunaannya. Padahal besok gue sudah diagendakan punya dua ujian dan gue sama sekali belum belajar. "Mana pagi-pagi, lagi!" Apalagi gue nggak biasa begadang!

"Udah belum sih, Ja'?"

"Bentar lagi deh, Dak."

Ya, kenalkan. Nama asli gue Pranata Wangsa. Lihat: tidak ada kata 'Dak'-nya sama sekali khan? Hanya orang gila itu saja yang memanggil gue 'Badak' cuma karena badan gue yang relatif lebar. Dan herannya, gue juga tidak menolak apalagi berontak. Mungkin karena alasan yang sama, badak di jawa punah perlahan: karena terlalu mengalah pada manusia.

"Aduh.. lo berat banget sih?"

Tapi sebenarnya, ada yang lebih berat dari tubuh Jaja, yang membuat gue lebih-lebih lagi berkeberatan: Jaja sudah berdiri di pundak gue selama paling tidak lima menit dan sudah dua kali dia kentut. Sumpah, bau timbunan sampah di depan kampus ditambah aroma dua bangkai kuda nil plus lima bunga bangkai mekar dalam waktu bersamaan saja mungkin baru bisa menandingi bau kentutnya!

"Bentar.. bentar lagi juga dia keluar."

Perkenalkan. Orang yang sedang dimata-matai Jaja adalah seorang wanita. Lumayan, tapi menurut gue sih tidak secantik yang diceritakan Jaja. Anak kampus sebelah. Namanya Laras. Jaja tergila-gila pada Laras. Jaja yakin, Laras diciptakan ke dunia untuknya. Sudah seminggu ini Jaja berkenalan dengan Laras. Dan, siang itu, Jaja berencana 'menembak' Laras, dengan cara paling romantis yang pernah ada di muka bumi. Bumi versi Jaja tentunya.

Mari kita review bersama 'bumi' sang romeo dari Kediri ini dan menelaah definisinya tentang romantisme. Jaja pernah mengirim sebuah surat cinta kepada seorang perempuan sewaktu kami masih di SMA. Romantis? Tunggu sampai gue selesaikan cerita ini. Dalam 'surat cintanya' itu, Jaja memang tidak banyak bicara. "Cinta itu tegas, straight to the point!" Jadi di surat itu Jaja praktis hanya menggunakan tidak lebih dari tiga belas kata saja: "Nana, I Love U. Plis jadi pacarku, atau aku mati saja!"

"Ini sih bukan surat, Ja'." Soalnya, di dalam pikiran gue, surat adalah serangkaian kata yang jauh lebih banyak dari itu. Di dalamnya ada basa-basi menanyakan kabar. Di dalam surat juga ada bagian isi dan penutup. Ada nama penulisnya, lalu tanda tangan. Dan semua itu ditulis dengan tinta pena. Hal yang paling membuat gue ogah menyebut surat itu dengan embel-embel cinta karena: "Ja', lo bener-bener nulis ini pake darah lo?!"

Efek dramatis. Itu katanya menjelaskan alasannya menulis surat dengan darah. "Ini sih bukan dramatis. Ini lebih mirip surat teror daripada surat cinta." Tapi, apalah daya ketika sang badak telah ditangkap sang pemburu-cinta berkulit gelap berambut ombak bernama Jaja Jangkaru. Hari itu, kami berdua berakhir di ruang BP untuk menjelaskan si 'surat cinta' berdarah di depan Pak Kosim dan kumis lebatnya.

"Dak, Laras udah keluar, Dak!" Kata Jaja sambil sedikit melompat-lompat girang.

"Woy... yang boneng lo... jangan loncat-loncat.. berat nih."

Lalu kami berdua pun dengan sukses roboh bersamaan yang diikuti bunyi debum keras dan mantap.

"Ayo, cepetan...," Jaja langsung bangun. Tangan ku yang masih kebas ditariknya. Kamipun berlari di lorong-lorong sempit Taman Hewan menuju tempat kejadian perkara. Tidak lupa, Jaja membunyikan peluitnya tiga kali sebagai tanda. Perasaan gue jadi tidak enak. Gue khawatir Jaja melakukan akan melakukan sesyuatu yang sama sekali tidak 'all right'.

(Oh iya, buat pembaca yang tidak familier dengan nama-nama daerah di kota Bandung, Taman Hewan bukanlah nama lain dari kebun binatang atau istilah kerennya 'zoo'. Tapi, adalah nama kawasan dengan banyak sekali kos-kosan dekat kampus sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung..hahaha..nyombong dikit boleh donk.)

Biar gue jelaskan secara ringkas dan jelas apa yang Jaja rencanakan hari ini. Pada prinsipnya, Jaja akan berusaha membuat Laras pergi menuju ke sebuah lapangan kecil di ujung salah satu jalan (lebih tepat disebut gang) Taman Hewan. Di lapangan itu (tempat kejadian perkara), Jaja berencana akan 'menembak' Laras.

Trus, bagaimana caranya Laras bisa digiring ke sana? Pertama, Jaja memastikan bahwa siang itu Laras tidak ada kuliah atau janji pergi dengan temannya. Jaja juga sudah sekongkol dengan Rani, teman satu kos Laras. Rani pura-pura minta diantarkan ke Warnet Garbul di dekat lapangan dengan alasan meminta Laras mengajarinya membuat Blog. Maklum, Blog sedang jadi tren.

Di sepanjang jalan. Jaja (dan unfortunately gue juga terpaksa terlibat) sudah menyiapkan aneka hiasan berbentuk otak manusia berwarna pink dengan nama Laras di tengahnya. Ya, otak. Bukan, hati seperti biasa. Soalnya, menurut majalah National Geographic Indonesia edisi Februari yang dibaca Jaja, cinta itu datangnya dari kerja otak dan sama sekali tidak ada urusannya dengan hati (liver, yang bentuknya tidak mirip dengan yang biasa dipajang di mana-mana waktu valentine) atau jantung (yang entah kenapa selalu diasosiasikan dengan perasaan).

Untuk menambah--lagi-lagi--efek dramatis, Jaja juga menaburkan bunga sepanjang jalan dari depan kos Laras hingga ke lapangan. Tapi, menurut gue tindakannya ini bukannya membuat suasana menjadi lebih (?) romantis, tapi malahan membuat bulu kuduk berdiri. Pasalnya, Jaja memilih bunga melati--yang katanya lebih 'indonesia' daripada mawar merah. Bayangkan: ornamen otak ditambah aroma melati! Gue semakin menyesali keberadaan gue di sana, di lapangan itu, di kelilingi anak-anak kecil yang dibalur cat warna-warni. Lebih baik gue di kosan saja, mulai membuka satu demi satu buku diktat gue dan fotokopian catatan kuliah. Soal anak-anak kecil itu, nanti kalian juga akan tahu sendiri peran mereka.

Di langit, matahari masih sembunyi di balik awan memberi efek sendu. (Gimana nggak sendu? Lha wong, Jaja menaruh celana dalam bekasnya ditambah dua siung bawang merah dan satu cabai merah di atap kosan supaya langit tidak mencurahkan airnya sore ini. Mungkin sang Mentari mual melihat sesajian Jaja itu dan memilih sembunyi saja). Angin sepoi-sepoi sedikit menghibur gue.

Tidak sampai tujuh menit berselang, Rani sudah berhasil membawa Laras ke lapangan (meskipun dengan raut yang tidak rela sekaligus merasa aneh) diiringi tepuk riuh warga RT 9 RW 2 yang kebanyakan adalah ibu-ibu yang anak-anaknya dipinjam Jaja. Lumayan, buat menunggu waktu sebelum Kroscek dan rentetan panjang acara gosip tayang di televisi sore ini. Dan, di sana, gue bertugas sebagai kameraman dengan sebuah handycam pinjaman.

Lapangan yang biasanya menjadi tempat sepak bola anak-anak itu telah berubah menjadi pusat keriaan baru bagi warga. Tidak lupa, rangkaian kertas krep warna-warni dan balon aneka bentuk dan ukuran (beberapa balon diduga kuat adalah kondom) menghiasi lapangan asri nan permai itu.

Ting. Bunyi handycam yang gue pegang. Gue sudah mulai merekam.

"Ras.. sejak gue ketemu dan kenalan sama loe, gue ngerasa ada sesuatu yang beda di dalam hubungan kita. Gue cuma ingin lo tahu, bahwa semua yang sudah gue lakuin ini.. semua hiasan, melati, balon-balon.. adalah biar kamu tahu perasaanku ke kamu. (Gue yakin gue pernah denger kalimat ini. Dari mana ya..) Tentang cinta ini, tentang perasaan yang menyiksaku hingga ke ubun-ubun hingga ke liang-liang lahat (mulai lagi gaya Tombal-nya).. Ras.. mau nggak kamu jadi pacar aku (pasti sebentar lagi Jaja bilang: atau aku mati saja).. atau aku mati saja! (huh, gak kreatif!!!)"

Gue menangkap perasaan campur aduk Laras (dan rasa bersalah Rani). Gue juga melihat dari layar LCD handycam ini, muka ibu-ibu mulai menunjukkan bahwa sebentar lagi mereka akan nangis bombay bersama. Mereka belum pernah melihat telenovela siaran langsung sampai hari ini. Sementara anak-anak mulai menggaruk-garuk cat yang mulai mengering di tubuh mereka. Dan, matahari masih ogah melirik.

"Ras.. gue butuh jawaban lo sekarang juga. Soalnya, konon, jawaban spontan adalah jawaban paling jujur dari dalam hati... nggak ada emosi yang menggurui, nggak ada pikiran yang intervensi.. cuma tinggal lo sendiri di sana yang..."

Kalimat Jaja terputus oleh suara tangis seorang ibu dalam daster orange.. Ibu-ibu lain datang dan mulai memberi perolongan pertama pada korban perasaan (P2KP) segera.

"..cuma tinggal lo sendiri di sana yang bisa memberi jawaban kejujuran.. kebenaran.. tanpa pretensi, yang independen. Lo kasih tau jawaban lo ke si Ujang (Jaja memegang pundak seorang anak di sebelah kanannya.. dan mendorongnya maju ke arah Laras).. nanti dia akan kasih tau jawaban kamu itu lewat temen-temennya (Jaja menunjuk sekumpulan bocah tanpa dosa--yang pasti segera akan mengenal lembah papa.. ha ha ha--yang diwarnai hijau, biru, ungu, orange, merah, dan kuning).

"Kalo jawaban lo ya.. mereka akan berjoget seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar untuk memutar kaset yang sudah disiapkannya..)"

Musik segera mengalun, menggetarkan udara, menggoyangkan bocah-bocah itu mengikuti irama senam SKJ 97 (Lhoh koq? Jangan tanya gue deh... gue gak tau apa-apa soal kaset dan balon kondom itu). Dengan gerakan kaku nan imut (can you imagine it?) bocah-bocah (balonku ada lima) yang rupa-rupa warnanya itu menggerakkan tubuhnya sesuai yang sudah Jaja ajarkan selama dua hari belakangan ini dengan imbalan pensil dan buku-buku tulis.

Jujur, gaya anak-anak itu begitu menggemaskan. Laras dan Rani sempat tersenyum lebar melihat mereka.

"Kalo jawaban lo nggak.. mereka akan seperti ini.. (Jaja memberi aba-aba ke bu Sukandar sekali lagi untuk memainkan kaset satunya)"

Kali ini musik klasik yang terdengar. Seperi bunyi musik latar film horor. (Jangan tanya kenapa ke gue). Bocah-bocah tadi langsung membentuk formasi. Mereka sedang bermain peran. Dua bocah menggambil pistol mainan plastik dan membidiknya ke arah tiga temannya yang sudah tersungkur di tanah sambil berteriak.. "Ampun.. ampun.. bunuh saja aku." Lalu dua orang tadi berteriak "Dolll.. dolll... mati kamu!" Dan diikuti gerakan mati dalam slow motion ketiga anak yang sedang rebahan begitu saja di tanah. Semua orang melongo menyaksikannya. Lapangan menjadi hening.

Perlu diingatkan, adegan ini sebaiknya tidak diperuntukkan bagi anak-anak usia 7-9 tahun. Tapi karena memang dasar Jaja sudah gila, jadi hanya dia yang boleh melakukannya--untuk pertama dan terakhir kalinya. Bahkan--dari ekspresi wajah ibu-ibu di sana--gue bisa menangkap bahwa inilah kali pertamanya bocah-bocah polos itu mempertunjukkan hasil latihannya.

"Jadi, Ras... kasih tau Ujang, apa jawaban lo." Kata Jaja dingin kepada Laras yang masih tertegun meliha anak-anak warna-warni itu demikian menghayatinya. Hati laras berkecamuk, pikirannya bagai toilet yang sedang di-flush, perutnya melilit, tangannya dingin.

Ujang maju mendekati Laras yang 60 senti lebih tinggi darinya. Laras masih tampak ragu memilih apa.

Sementara ibu-ibu mulai memberi semangat dengan menepuk-nepuk tangan sambil bilang, "Trima.. trima.. trima.." Gue yakin, ibu-ibu melakukan itu karena tidak tega melihat anak-anak mereka bermain teater-teateran ala Jaja seperti tadi lagi.

Laras membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga Ujang. Ujang lalu lari ke arah ibu Sukandar berdiri, lalu membisikinya. Ibu Sukandar dengan mantap mengambil salah satu kaset (gue tidak tahu kaset mana yang isinya apa, hanya ibu Sukandar yang tahu) dan memasukkannya dengan mantap ke dalam tape.

Sesaat, udara terasa berhenti mengalir. Matahari sudah condong ke barat, langit memerah. Gue rasa gue bisa mendengar degub jantung semua hadirin di sini.

... ... ...

Ternyata... musik senam eskaje sembilan tujuh!! yang disambut gegap gempita sorak sorai para penonton. Riuh rendahnya sudah bisa disepadankan dengan kehebohan para suporter Persib yang melihat timnya menyarangkan gol penentu kemenangan--kejadian ini mulai makin jarang terjadi--di gawang lawan (catat itu). Ibu-ibu saling peluk sambil menangis haru. Bunyi mercon meledak-ledak serasa lebaran cina. Kertas kelap-kelip beterbangan di udara. Gue memeluk Rina bahagia (sekaligus curi-curi 'kesempatan'): ternyata pengorbanan gue tidak sia-sia. Gue bisa belajar dengan riang gembira malam ini.

Huru-hara mereda. Orang-orang kembali masuk ke rumah masing-masing. Ternyata Jaja, Laras, dan Rani juga ikut raib. Tinggallah gue sendirian di tengah lapangan yang penuh sampah. Bu Sukandar datang membawa sapu lidi dan keranjang sampah besar dari bambu. "Yang bersih ya, encep! Ntar sampahnya dibuang di tong sampah di atas ya."

Ternyata hari ini belum usai. Gue jadi teringat pada mbok Ijah di rumah, nun jauh di kampung halaman. "Mbok.. bikinin kopi, dong, dua galon. Jangan lupa dicampur Irex tiga dus. Aku mau begadang malam ini."


malam-malam tanpa perasaan kantuk
9 Maret 2006, dini hari


PS: si Rifki baru nelpon ke simpati gue. Katanya dia lagi nunggu bis ke kantornya di Freeport sana. Semua sudah berjalan lancar.

Tuesday, March 07, 2006

Pertanyaan

Aku masih ingat, dosen Penggerak Mula ku dulu pernah bilang di depan kelas suatu hari. Dia mengajukan satu pertanyaan sederhana, "Jika suatu saat kendaraan yang Anda kendarai tiba-tiba mogok di jalan. Apa yang pertama kali akan Anda lakukan?"

Dosen itu masih muda. Mungkin karena itulah caranya menyampaikan materi kuliah begitu relaks dan akrab dengan keseharian. "Apa kalian akan menelpon bengkel Anda, atau mungkin ayah, pacar, teman? Atau langsung saja 'mengoperasi' kendaraan Anda di tempat kejadian? Atau.. apa," beliau memancing antusiasme kami. Aku masih ingat senyuman di bibirnya.

Pertanyaan itu bisa dijawab apa saja. Tapi, karena kami duduk di sana sebagai mahasiswa yang seharusnya punya pengetahuan dan akal yang lebih efektif dan efisien, dan karena tempat kami kuliah adalah sebuah kampus yang telah divonis unggul, dan karena kami telah dibiasakan untuk mengerjakan soal-soal sulit hingga selalu curiga pada pertanyaan sederhana.. maka kami pun diam (dan pura-pura berpikir mencari solusi).

Sang dosen ternyata bisa menangkap pikiran kami, "Kita sering berpikir terlalu rumit. Sederhana saja. Yang harus dilakukan pertama kali adalah memeriksa: apakah kita sedang kehabisan bensin?!"
-Aha! Momen pencerahan!-

Melihat supir angkot itu berlari kencang menjauh dari kendaraan reot ini di pinggir jalan, membuat ku berpikir: seharusnya dia yang duduk di kelas Penggerak Mula waktu itu. Dia pasti bisa menjawab pertanyaan sederhana tadi.

Tidak sampai dua menit kemudian supir angkot itu kembali, membawa sebuah dirijen minyak tiga per empat penuh yang berisi bensin dan sebuah selang yang ujungnya disambungkan ke sebuah botol aqua besar yang telah dipotong menjadi sebuah corong.

Siang itu panas dan aku mulai berkeringat dalam sweater biru tua ku, menunggu supir angkot beraksi, 'menghidupkan' kembali angkot tuanya yang mulai enggan diajak jalan lagi. Angkot itu benar-benar sesak. Semua orang duduk saling berhimpit, diam, dan menatap jauh entah sedang berpikir apa. Aku dan Nia juga. Kami tak lagi mesra di dalam angkot.

Biasanya kami tidak begitu. Sejak 'jadian' tujuh bulan, dua puluh tiga hari, dan empat jam yang lalu, kami selalu membuat orang-orang di dalam angkot (di segala jurusan di kota Bandung) yang kami tumpangi iri atau setidaknya berdecak sambil berpikir mencibir, "Get a room!" atau "KUA ada di depan, belok kiri, rumah ke tujuh dari pertigaan."

Tangan kami tak sedang saling bertaut siang itu seperti biasanya. Kepalanya tidak sedang bermanja-manja di pundakku. Bibirnya tak juga sedang membasahi kulit pipi dan--kadang-kadang juga--bibirku. Dia diam saja. Tubuhnya tak juga condong ke tubuhku. Bukan gerahnya efek rumah kaca di dalam angkot itu yang membuat hubunganku dan Nia memuai lalu meleleh kehilangan bentuknya. Jangan tanya aku apa sebabnya. Ternyata, aku tak juga mengerti pikiran wanita. Dan, Nia adalah seorang wanita sempurna di mataku yang misterinya juga paripurna.

Semua teman yang ku ceritakan tentang hubungan spesial nan 'hot' antara aku dan Nia selalu bereaksi sama: "Tidak percaya!" Maklum, Nia adalah selebritis kampus yang punya penggemar di setiap sudut jurusan bahkan hingga ke mancakampus. Sedangkan aku? Aku cuma mahasiswa pencinta sains biasa yang bahkan belum pernah dipacari bahkan untuk alasan kasihan sekalipun. Aku dan Nia bukan hanya seperti bumi dan langit, tapi sudah lebih mirip neraka dan surga. Aku, neraka kering yang tidak pernah dibesuk bidadari surga yang terlalu sibuk dikejar-kejar Arjuna.

Namun, seperti penemuan para pujangga fisika modern, jagat ini tak hanya disusun oleh 1 dan 0 atau baik dan buruk atau ada dan tiada, tapi juga sekaligus adalah senggama keduanya. Dan, begitulah suratan kehidupan: neraka punya kesempatan memeluk surga dan lahirlah dunia.

Pertama kalinya kami bertemu--atau lebih tepatnya: dia menyadari keberadaanku--di sebuah toko serba ada di dekat rumah. Hari itu aku baru tahu bahwa RT Nia dan aku ternyata masih bersebelahan. Bahkan, kos-kosan kami masih bisa ditempuh pulang-pergi dua kali berjalan kaki santai dalam waktu yang tidak lebih dari tiga puluh menit.

Sebenarnya, dari segi fisik, aku sedang tidak siap bertemu-muka waktu itu dengan 'sang bidadari' yang telah begitu berbaik hati turun ke bumi dan berbelanja di Alfamart. Sayangnya (atau seharusnya aku bilang: untungnya) sang bidadari lupa membawa dompet.

Meskipun dengan rambut kusut mengembang, mata masih sipit dan sembab, juga bekas lipatan kulit khas orang yang baru bangun tidur masih nampak jelas dan makin memperburuk penampilan, aku tidak lupa membawa dompet dan (beruntung) punya uang lebih. Sehingga, sang bidadari tak harus kehilangan cerah auranya karena malu. Aku memperkenalkan diri sebagai teman sekampusnya dan bersedia meminjaminya uang. Untung dia tidak sedang belanja bulanan hari itu. Dia hanya beli dua bungkus pembalut dan dua permen lolipop rasa stroberi.

Sebenarnya aku bukan penggemar glukosa atau sukrosa apalagi fruktosa, tapi pagi itu tak terasa satu permen lolipop rasa stroberi telah lumer di mulutku. Aku yang memaksanya membiarkanku membawakan belanjaannya dan mengantarnya hingga ke depan kos-kosannya. Kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit khas perumahan Bandung; melewati RW 07, satu lapangan, dua rumah, satu tempat fotokopi, tiga rumah, kelurahan, dan kami berhenti di depan plang bertuliskan: 'Kos Putri' dan 'Arra Laundry'. Di sanalah, Nia selama ini tinggal. Inilah khayangannya.

Mungkin hubungan kami sama seperti angkot yang sedang kami tumpangi ini: mogok. Dan itu terjadi tiba-tiba. Bukan karena dia memergokiku bercumbu mesra dengan wanita lain, karena aku tidak pernah (punya kesempatan) melakukan itu. Bukan juga karena ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kami. Bukan juga karena aku alpa memberinya bunga dan puisi cinta setiap minggunya, karena aku selalu memastikan tak abai mengiriminya. Bukan juga karena aku menyisihkan dia di antara kesibukanku menyusun skripsi. Tidak, bukan itu, karena aku lebih banyak bersamanya bahkan apabila dibandingkan dengan total waktu bimbinganku, membaca buku referensi di perpustakaan, mengetik di depan komputer, dan melakukan percobaan di lab.

Mungkin kami sedang kehabisan bahan bakar. Tak ada cukup hidrokarbon yang dibakar untuk mengasilkan energi untuk menggerakkan piston-piston dalam 'mesin' hubungan kami. Tapi, isi kepala dan perasaan wanita pasti jauh lebih kompleks daripada mesin karatan angkot tua ini. Tak ada pom-bensin yang menjual amorum untuk menggerakkan kembali kisah kasih kami. Paling-paling, mereka hanya menjual solar dan premium dan pertamax yang belakangan harganya semakin merangkak naik.

Aku menyerah. Aku menyerah pada diammu. Aku lelah mencari-cari, menguji teori, menganalisis, mensimulasikan hubungan kita, mencoba menemukan apa yang salah. Aku bosan selalu mengikuti pasang surut emosimu yang menurutku jauh lebih dahsyat dari ombak pantai selatan. Aku tidak bisa lagi mengikuti permainanmu yang sama sekali tidak ada aturannya, tidak ada yang bisa dipakai untuk menjustifikasi jika ada pelanggaran. Aku selalu mengalah, walaupun kamu sudah terlalu offside dalam hidupku.

Aku rela ketika kamu melarangku menemui--bahkan--mengontakmu saat kamu bilang sedang ingin bersama teman-temanmu. Saat kamu sedang tidak membutuhkanku. Aku tidak bertanya mengapa, ketika kamu melarangku bertemu orangtuamu ketika mereka datang. Aku juga tidak marah ketika aku melihatmu jalan berdua dengan laki-laki yang kamu bilang hanya teman biasa saja, walaupun dalam sms-mu kamu bilang sedang belajar kelompok dengan Gadis dan Emma, sahabatmu... Sampai, tanpa sengaja, kita bertemu dalam angkot siang ini. Dan, kamu duduk di situ di hadapanku, tak berdaya karena terjepit, tak sudi menatapku.

Aku tahu, kamu ingin menghambur lari keluar dari angkot ini jika saja tak ada yang menghalangi. Aku tahu, keringat di keningmu itu bukan karena panas semata. Aku tahu, kamu membenci takdir yang mempertemukan kita kembali di sini. Takdir yang membuat supir itu lupa mengisi tangki bensin angkotnya. Aku tahu, kamu telah memutuskan hubungan kita dua minggu yang lalu, bahkan tanpa aku perlu menunggu kata-kata vonis darimu. Yang aku tidak tahu, mengapa kamu (mengatakan kamu) mencintaiku dan tak juga menjelaskan apa salahku atau apa maumu.

Aku yakin, pertanyaan seperti ini tidak akan pernah ditanyakan di dalam ruangan kuliah mana pun khususnya yang membahas tentang mesin. Tidak juga dosen Penggerak Mula ku itu tahu jawabannya. Tidak supir angkot, tidak juga kasir Alfamart, mungkin juga dia sendiri tidak tahu.


suatu siang yang panas,
di dalam angkot penuh sesak yang kehabisan bensin
7 Maret 2006

Sunday, March 05, 2006

Dari Wisudaan Kemaren

Buat seorang mahasiswa, seperti teman-teman saya ini, kelulusan adalah impian. Terutama sejak kami harus berkelahi melawan kemalasan diri, mencari celah dalam jadwal ketat dosen pembimbing, beradaptasi dengan jam biologis baru yang mengganggu ritme tubuh, semuanya itu demi menerbitkan sebuah buku bertitel: Tugas Akhir. Bukan sembarang buku. Buku ini harus melewati candradimuka bernama bimbingan, sebuah seminar, dan satu (bahkan ada juga yang lebih) sidang agar bisa masuk perpustakaan. Buat yang sudah melewatinya, hari seperti ini adalah ganjaran yang membuat hati lega.

Sejak Juli tahun lalu, tradisi arak-arakan wisudawan di dalam dan di luar kampus, juga tawuran antar himpunan sudah dilarang pihak Rektorat. Bahkan, kendaraan tidak boleh masuk ke dalam kampus pada hari wisuda. Jadi, mau tidak mau para wisudawan diarak dengan berjalan kaki menuju Jurusan masing-masing dari gerbang Ganesha. Di sepanjang jalan, berbagai atraksi, yel-yel, dan sebagainya dipertunjukkan sebagai pernyataan eksistensi Himpunan masing-masing. Dengan langit yang memanggang panas tidak membuat kami urung merayakan datangnya era baru dalam hidup: menjadi alumni.

Berikut ada dua gambar yang saya ambil kemarin. Gambar pertama diambil di depan gerbang Ganesha, di kejauhan tampak para wisudawan dalam toga sedang dibariskan. Yang kedua menunjukkan anggota muda Himpunan push-up berantai dengan teman-teman lain di belakangnya memberi semangat dengan menyanyikan mars Himpunan, semuanya adalah hadiah buat mereka yang telah melewati perjalanan panjangnya di kampus tercinta.



Thursday, March 02, 2006

Bokerisme

Menulis seharusnya menjadi kegiatan pribadi yang melegakan. Sama seperti boker. Dan seperti laiknya semua kegiatan pribadi lain, menulis sama sekali tidak boleh diganggu orang lain, jangan sampai ada yang mengintervensi. Jika demikian, maka semuanya akan kacau balau. Bisa bisa seharian mood porak-poranda hingga datang saatnya boker besok. Jika sudah begini, yang ada bukan lega, tapi mungkin rasa sepat di hati. Entah kenapa, boker menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya. Di antara rasa mules melilit di perut dan dubur yang mencoba menjaga 'gawang', ada sebersit momen kreatif yang begitu kaya, momen surgawi yang tidak ada tandingannya. Tanpa bermaksud menghilangkan selera makan Anda, dan mem-flush-nya ke dalam septic tank bersama dengan kata-kata 'urusan belakang' itu, saya cuma ingin bilang: semoga pencernaan kita semua lancar dan menghadirkan ratusan bahkan jutaan momen kreatif sehingga melahirkan banyak karya yang melegakan. Semoga.

dari perut ke atas kertas
2 Maret 2006, dini hari

TK Bianglala

Sekolah itu penuh racun. Atau jangan-jangan cuma sekolah saya yang beracun? Saya mulai dibiasakan menenggak racun sejak TK. Oh iya, ngomong-ngomong saya pernah sekolah di empat SD berbeda, tiga SMP, dan dua SMU. Jangan tanya saya. Bukan saya yang ingin pindah. Buat saya, sekolah yang mana-saja: sama. Sama-sama beracun. Para guru saja yang merasa racun buatannya yang tidak mempan buat saya.

Kalau ditanya, kapan pertama kali saya meminum racun di sekolah, saya mohon maaf saya sudah lupa. Saking seringnya, lidah saya sudah semakin kebal karena terbiasa. Sekali lagi, sekolah itu racun. Tapi saya masih ingat suatu siang di bangku kecil yang dicat warna-warni di TK Bianglala, bu guru membunuh dengan dingin salah satu ide cemerlang saya dengan racunnya. Karena begitu mencintai pelajaran dan dengan alasan tidak ingin ketinggalan materi (belajar lagu baru, menggambar--lagi-lagi--sawah dan gunung, dsb) maka saya tidak sudi untuk memotong sewaktu ibu guru mengajar untuk hanya sekedar kencing ke belakang. Toh, itu semua bisa dilakukan dengan celana tetap terpasang. Saya nggak ngerti kenapa bu guru selalu mengatakan agar saya tidak usah bicara hal yang aneh-aneh lagi, seperti meminta bu guru memasang toilet duduk di dalam kelas, sambil membawa saya keluar seperti anak kucing bau. Ah, pikirku waktu itu, mungkin ide saya itu terlalu 'maju' untuk sebuah TK kecil di negeri ini.

Ada beberapa hal yang saya suka dari TK Bianglala. Saya suka saat absen pagi sebelum kelas dimulai. Kami diminta untuk memindahkan gantungan kecil berbagai bentuk dari satu papan ke papan lain di sebelahnya untuk menandakan bahwa kami hadir hari itu. Dan, waktu pulang, kami diminta melakukan sebaliknya. Saya masih ingat--saya benar-benar heran, padahal kata dokter banyak saraf di kepala saya yang sudah mati yang artinya daya jangkau dan daya tampung ingatan makin mengecil karena terlalu banyak meminum racun--absen saya berbentuk pohon. Sejak itu saya suka pohon dan tanaman. Baru kemarin saya membeli sebuah anggrek tak berbunga seharga lima juta rupiah. Istri saya hanya menggeleng-geleng tak mengerti pada 'obesesi' saya itu. Ya, dia mulai menyebut hobi saya itu sebagai sebuah obsesi, dan saya sudah mulai gila. Dan, dua puluh tahun kemudian, saya masih juga meminum racun.

Hal lain yang saya suka dari TK Bianglala adalah bel tanda habis pelajarannya. Bunyinya seperti lonceng tukan es serut langganan. Seperti banyak anak-anak normal lainnya, saya pun selalu menunggu lonceng sekolah berbunyi. Itu artinya saya boleh bermain papan luncur atau jungkat jungkit (saya masih main ini sampai SD di TK adik saya) atau kesenangan berebut mainan dengan anak-anak lain. Saya suka sekali bermain dengan tanah, berguling di atasnya. Bu guru selalu datang menghentikan permainan saya dan meminta saya agar jangan pernah berkelahi lagi. Saya kan hanya bermain bu? Kenapa anak yang saya ajak berguling di tanah itu terlalu cengeng. Mungkin karena dia tidak bisa membalas dua pukulan telak saya. Sekali lagi saya terlalu 'maju' buat mereka. Bertahun-tahun kemudian di televisi bahkan ada acara yang memperlihatkan orang berkelahi, bergulat, tapi semua orang tahu itu cuma pertunjukan, cuma main-main, seperti aku dan teman cengengku dulu.

Saya selalu suka menggambar. Saya selalu ingin menjadi seorang pelukis terkenal. Di sekolah, inilah mata pelajaran favorit saya. Saya merasa bebas berekspresi. Tapi, sebagai konsekuensi, saya harus meneguk racun dua kali. Petama, entah mengapa--mungkin karena terlalu asiknya--setiap kali menggambar--terutama dengan spidol--telapak tangan saya selalu penuh warna seperti kertas gambar saya. Sampai suatu hari bu guru menunjukkan telapak tangan saya itu di depan kelas. Dia memberi tahu agar jangan ada yang meniru. "Menggambar itu di atas kertas, bukan di badan." Ibu guru salah. Banyak orang yang menggambar macam-macam di tubuhnya dan menjadi terkenal, seperi Tora Sudiro, yang menurut saya sama sekali tidak lucu itu. Ada juga yang namanya palmpainting atau melukis dengan menggunakan telapak tanggan seperti pelukis terkenal Effendi. Coba bu guru tidak melarang saya melakukan palmpainting, mungkin lukisan-lukisan TK saya sudah diburu kolektor dan harganya jutaan rupiah sekarang.

Kedua, saya heran kenapa bu guru dan teman-teman di sekolah menggambar burung (yang tentunya sedang terbang di langit berlatar gunung dan sawah) berbentuk angka tiga terjungkir. Dari apa yang saya lihat, tidak begitu kenyataannya. Saya tidak ingin jadi korban 'mode', saya punya cara sendiri menggambar burung terbang. Lagi pula saya tidak begitu suka angka tiga. Saya tidak bisa menggambarkannya di sini, tapi yang pasti lebih realistis. Tapi kreatifitas saya itu masih terlalu 'dini'--menurutnya. Dia meminta saya menggambar angka tiga dengan strip di bawahnya saja dan mengikuti mayoritas. Ah, terserah lah. Toh bulan depan saya sudah pakai baju merah-putih terbalik.

Ah, saya lupa harus menjemput Raksa. Sebentar lagi dia pulang sekolah. Saya selalu menunggunya pulang di halaman TK-nya. Dan dia selalu pulang dengan celana basah, baju dekil, dan tangan penuh spidol. Ah, like father like son, tapi dengan kadar racun dalam tubuh yang saya harap lebih rendah.

"Papa udah bawa celana dan baju ganti di mobil. Nanti saja tanganmu dicuci. Siang ini kita mancing lagi yuk..."